Senin pagi.
Bukan hari yang istimewa, hanya sedikit mendung dan suram, Jakarta masih seramai biasanya, mobil dan motor memadati jalan, asap kendaraan mengepul, menghiasi pagi yang harusnya diawali dengan sinar mentari.
Tapi bagian yang paling menyebalkan di pagi hari menurut Alisa bukan itu, ‘satu mobil dengan Chiya' itu adalah hal yang sangat menyebalkan, tidak, satu mobil dengan Chiya bukan masalah besar sebenarnya, jika seandainya mama dan papa berhenti membanding-bandingkan dirinya dengan Chiya, mungkin tidak masalah,sampai pengang telinga Alisa mendengar
‘Mecchiya yang ini lah',
‘Mecchiya yang begini-begitu', ‘Chiya yang ini itu',
‘Chiya yang bla...... bla...... bla.... ‘, andai tidak ada kata: ‘kapan sih kamu bisa kayak Chiya? ‘ , Alisa tidak akan mempermasalahkan bagaimana orang-orang memuji kakaknya.“kemaren Chiya menang olimpiade lagi loh, sa, kamu kapan? “
Tuh, kan, adaaa saja topik yang menyudutkan Alisa.
“Buat apa?gak minat juga, lagian di kuburan ga bawa-bawa piala”
Sadar sebentar lagi tingkat ajang membanding-bandingkan akan semakin naik ke level lebih tinggi, Alisa memilih untuk menyumpal telinganya dengan earphone yang ia bawa.
“ya nggak gitu lo, sa, setidaknya kamu niru kakakmu, belajarnya sungguh-sungguh, gak main gitar aja tiap hari”
Tidak ingin memperkeruh suasana, Alisa memilih diam dan mengeraskan volume lagu agar suara mama tidak sampai ke gendang telinganya.
Chiya yang sedari tadi diam, melirik Alisa disampingnya, adiknya berusaha menyembunyikan luka, Chiya tau itu.
“ya, kan, pa? Alisa itu terlalu santai, coba dia serius dikit, pasti dia bisa kayak Chiya juga”
Sekarang mama mencari dukungan, dan hal itu semakin membuat darah Alisa mendidih, papa tidak menyangkal, tapi juga tidak mengiakan.
“Ma, udah”
Chiya melerai, dan entah mengapa, Alisa bukannya senang mendengar itu, ia justru semakin merasa terkucil kan disini.
“Kan, bakat Chiya sama Alisa beda”
Kalimat itu justru terdengar seperti:’Kan Alisa gak punya bakat apa-apa' di telinga Alisa, padahal, Chiya hanya ingin membela
“iya, tapi bakatnya dia itu gak berguna dan gak penting buat kehidupan gitu loh Chi”
Hati Alisa mencelos mendengar itu, matanya memburam, dua tangannya mendadak kaku, dan ia tidak sadar bahwa ponsel yang ia pegang sudah jatuh ke pangkuannya.
“Dek, kamu... “
Alisa menepis kasar tangan Chiya yang berniat menyentuh pundaknya, Alisa melempar tatapan tajam, memberi peringatan bahwa ia tidak butuh empati apapun dari Chiya.
🎼
Alisa dan Chiya satu sekolah, Alisa kelas XI dan Chiya kelas XII, Si sempurna Mecchiya di kelas IPA, dan Alisa dengan kecerdasan biasa saja di tempatkan di IPS.
Sebenarnya jika mama mau membuka mata lebih jelas, Alisa dan Chiya adalah anak yang sama-sama membanggakan, keduanya memiliki porsi positif dan negatifnya masing-masing, karna tidak ada manusia yang benar-benar sempurna di bumi milik Tuhan ini.
Oke, Alisa memang tidak sepintar Chiya dalam soal menghitung kecepatan buah kelapa yang jatuh dari pohonnya, tapi dia bisa berdiri percaya diri di atas panggung sambil memetik gitarnya, sesuatu yang selamanya tidak akan bisa dilakukan Chiya karna anak itu tak sepercaya diri Alisa untuk disaksikan banyak orang;
KAMU SEDANG MEMBACA
Alisa and her dream
Teen FictionIni tentangku. Gadis kecil dengan mimpi sederhana, gadis kecil dengan harapan semu, gadis bodoh yang memaksa,meski tau tak ada yang setuju.