2 - Red String of Fate

3 0 0
                                    

i.

Kia paling percaya dengan takdir. Wah, kalau dari skala 1 sampai 100, dia bakal nyebut seribu tanpa ragu. Dia yakin bahwa semua di dunia ini pasti ada sebabnya, ada alasannya, ada hubungannya. Gak sia-sia, lha, pokoknya. Makanya dia sangat tidak percaya dengan apa yang namanya kebetulan, karena kebetulan sendiri sejatinya adalah bagian dari takdir.

Ceilah, puitis banget dia. Gile.

"Kia, baliknya mau jajan gak?"

Lamunannya buyar ketika merasakan badannya disikut pelan dari samping. Ia menoleh, mendapati Theo sudah mengenakan helmnya dengan satu tangan membawa helm kuning kesayangan Kia.

"Oh, ayo!" Kia meraih helm itu, memakainya secepat mungkin. "Aku mau telor gulung."

Theo hanya bergumam dan berjalan menuju di mana motornya diparkir terakhir kali sementara Kia mengikuti dengan riang dari belakang.

Motor Theo cukup tinggi, kalau boleh jujur. Tidak sekali dua kali Kia membatin apa dia yang terlalu cebol atau Theo yang terlalu tinggi. Dia yang seukuran kecebong air tawar tentu saja agak kesusahan untuk sekedar naik motor Theo.

Kia, masih mencoba dengan segenap kemampuan kakinya terangkat, memprotes bercanda. "Kamu gak mau beli mio aja apa."

"Yeu, kamunya aja yang pendek."

Ucapannya sih gitu, tapi Theo segera memiringkan motornya, memudahkan Kia untuk naik ke atasnya.

Phew. Kalau Kia bisa bersiul, dia mau bersiul sekarang juga, memuji bagaimana kerennya sahabat masa kecilnya itu.

Bener dah. Kebetulan itu gak ada. Hoax. Omong kosong.

Makanya kala ia berjumpa pertama kali dengan Theo di sekolah dasar, lengkap dengan benang merah takdir yang bertaut di antara kelingking mereka berdua, Kia tahu betul kalau semesta sedang menjalankan skenarionya.

ii.

Kalau ditanya seberapa besar rasa sukanya terhadap Theo, Kia akan menjawab, "COK GUE PENGEN NIKAHIN DIA" dengan lantang tanpa malu-malu. Bukan, bukan karena Theo adalah jodohnya—ya bener sih, tapi bukan karena itu saja.

Theo itu sempurna.

Cowok spek kulkas hati stoberi? Cek. Suka nge-gym dan olahraga? Cek. Cakep? Cek (bias). Kaya? Cek. Pintar? Beuh, cek parah. Kia bisa membuat 5 lembar essay tentang bagaimana Theo adalah cowok ter-loveable sejagat raya secara mendetail.

Tapi tentu saja, gak satu-dua orang yang jatuh hati pada Theo. Setiap naik jenjang pendidikan, yang mana Kia juga selalu berada di sampingnya, ada saja cewek yang curi-curi pandang pada Theo-nya.

Iya, Theo-nya.

Kalian gak salah baca meski ini cuma klaim sepihak.

Kia bukan tipe yang merasa rendah diri. Toh, dia tahu betul bahwa Theo akan selalu memprioritaskan dirinya. Dia juga selalu ada di sampingnya. Mereka saling melengkapi, macam puzzle menyusun gambar yang hanya terdiri dari dua kepingan.

Seharusnya begitu.

Benar, seharusnya begitu.

Sampai suatu hari mereka harus berpisah karena Theo diterima di perguruan tinggi di Bogor, sedangkan dirinya di Surakarta.

"Katanya kamu mau daftar di sana juga? Kok tiba-tiba ke aipibi?"

"Oh, biasalah. Bunda maunya aku jago masak di jurusan gizi."

"Lah, padahal kamu udah sempurna banget lho. Paket lengkap."

"Yeu, malah ngejek."


You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Apr 08, 2023 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Trash BinWhere stories live. Discover now