14. Klaten punya cerita.

105 15 0
                                    

"Lho...pak Jeffrey?"

"Tian?"

PJOK✓

"Ya Gusti....bagus banget ya anak mu, Tya. Jebule wes bujang, padahal biyen ngomonge iseh 4 tahun." (Ya Allah.... ganteng banget ya anak mu, Tya. Ternyata udah besar, padahal dulu ngomongnya masih 4 tahun) saat ini, tian, tirta, mamah tian, budhe, pakdhe, serta beberapa orang lainnya tengah berkumpul di ruang tamu.

Mamah tian terkekeh, "Halah, biasa aja kok, Mba. Iki durung pernah tak ajak mriki, biyen pas panjenengan nakokne bocah iki iseh umur 4 tahun. Terus tekan saiki, nembe biso moro merene." (Halah, biasa aja kok, Mba. Ini belum pernah tak ajak kesini, dulu pas panjenengan nanyain anak ini masih 4 tahun. Terus sampai sekarang, baru bisa nyamperin kesini.) mendengar penurutan sang ibu, tian lantas tersenyum manis. Ia merasa malu, kerabat terdekat nya semua berencana berkumpul di sini malam ini.

fyi : Yang 'panjenengan' engga aku ganti, soalnya untuk kata 'panjenengan' sendiri itu memiliki makna 'kamu' dalam bahasa jawa, tapi lebih ke bahasa formal nya. Biasanya kata 'panjenengan' di gunakan buat orang yang derajat nya lebih tinggi atau lebih luhur dari kita ya teman-teman. Misal nya, ke orang yang lebih tua dari kita atau orang di atas kita. Aku gatau bahasa Indonesia formal nya 'panjenengan' itu apa, mau pakai 'anda' takut jatuh nya malah cringe 😭.

"Owalah, iyo yo? Nama nya siapa, Dek?" bapak yang tadi tian dan tirta temui di depan sana tak lain tak bukan adalah pakdhe nya tian. "Nama saya Tian, Pakdhe." tian mengangguk sopan, tak lupa senyuman hangat yang tak pernah luntur dari bibir nya semenjak ia tiba di rumah ini. Harus ramah, biar orang-orang nyaman sama kita.

"Dulu kan si Doni masih 8 tahun, terusan kamu lahiran bocah bagus ini. Iya kan, Pak?" budhe menatap suami nya meminta jawaban. "Iya, dulu itu dek Tya sama Januar masih tinggal di Bandung kalau aku engga salah ingat." tutur pakdhe.

"Lha nek sek satune? Nama nya siapa, Dek?" pakdhe menatap ke arah tirta yang duduk tepat di samping tian. "Nggih, nami kulo Tirta, Pak." (Nama saya Tirta, Pak.) tirta tersenyum dan menganggukkan kepala nya.

"Wah yo, nek iki koyone asli arek jowo. Rumah nya mana, nak Tirta?" budhe tian menatap wajah tirta dengan seksama, tetap cakep. Masyaallah. "Ampun di panggil Tirta mawon, Bu. Griyo kulo nggih teng Jogja, kulo asli Jogja." (Bisa di panggil Tirta aja, Bu. Rumah saya di Jogja, saya asli Jogja.) tirta hanya tersenyum malu, sudah tertebak jelas tentu saja dari mana ia berasal.

Orang-orang yang berada di ruangan itu bersorak, "Pantes, kaya engga asing sama muka nya. Ternyata masjh tetanggaan ya, Le?" pakdhe menepuk pundak tirta. Dan di balas kekehan ringan dari sang empuh.

"Arek Jogja asli itu, sama tian udah kayak kucing sama tikus kalau ketemu, engga pernah akur." timpal mamah tian, hingga orang-orang di sana tertawa ringan. Engga usah di jelasin, udah kelihatan kalau tian sama tirta sering gelut.

"Kelas piro ta, Dek?" (Kelas berapa, Dek?) tanya budhe kepada tian dan tirta. "Inggih—

"Kelas 11, lha opo...iki gurune ndek sini, kok." (Lah apa... ini gurunya di sini, kok.) mereka reflek mengalihkan atensi nya ke arah pria jakung yang duduk bersebelahan dengan pria yang tubuh nya hampir sama. Pria itu tersenyum malu, setelan batik, celana panjang kasual, dan jangan lupa rambut yang di sisir rapih membuat ketampanan pria itu bertambah berkali-kali lipat.

PJOK•Jaeyong✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang