03

216 52 0
                                    

Hamparan lautan biru menenangkan hati. Angin bertiup menerbangkan helai rambut berbeda warna dari sepasang kekasih. Genggaman pada tangan melekat erat, seolah takut kehilangan satu sama lain.

"Aku mencintaimu, Hiori-kun." Untuk kesekian kalinya mengatakan hal yang sama. Nyaris berulang kali ketika badai masalah menerpa hubungan mereka.

"Aku lebih mencintaimu, sayangku (Name)." Manik cyan menatap penuh keteduhan.

Beberapa saat (Name) tertegun. Pandangan itu tak pernah berubah. Dari awal bertemu hingga sekarang. Terkadang (Name) berpikir, apakah dirinya yang buruk ini pantas berada di samping Hiori?

"(Name) aku gak akan meninggalkanmu. Aku janji." Kecupan lembut diberikan pada punggung tangan sang gadis. Seolah paham akan apa yang dipikirkan kekasihnya.

(Name) sangat mudah terbaca ketika sedang memikirkan sesuatu menyangkut hubungan mereka. Terjadi hal kurang menyenangkan beberapa saat yang lalu. Hal itu sangat mengusiknya.

"Hiori, janji itu kau bisa menepatinya?" Tanpa sadar (Name) menggigit pipi bagian dalamnya. Mengingat sesuatu hal yang menyakitkan di masa lalu.

Hiori mengangguk tanpa keraguan. (Name) mendekap sang kekasih dengan sangat erat. Mengubur dalam kabar menyakitkan yang akan memisahkan keduanya. Setidaknya malam ini biarkanlah dirinya menghabiskan waktu bersama Hiori.

Lelaki pemilik manik cyan dengan sorot penuh kehangatan itu cukup peka akan tingkah (Name) yang berbeda dari biasanya. Kekasihnya itu terlalu kentara menyimpan sesuatu untuk dipendam sendirian. Ia menyadari (Name) pasti butuh waktu untuk mengatakan isi dalam kepala cantiknya itu.

"(Name)," panggil Hiori begitu lembut menyapa telinga si pemilik nama.

"Ya?" (Name) mendongak menelisik tiap inchi wajah rupawan Hiori.

"Gak apa-apa kalau kamu masih mau menyimpannya sendiri. Aku akan selalu menunggumu."

(Name) seketika salah tingkah. Sepertinya ia memang tak pandai menyembunyikan ekspresinya. Terutama pada Hiori kekasihnya.

"Maaf, Hiori."

(Name) menunduk enggan memperlihatkan kesedihannya. Hiori meraih dagu gadisnya hingga kedua manik berbeda warna itu saling bertemu.

"Aku yang seharusnya minta maaf." Hiori mengecup kening (Name).

Pandangan Hiori menajam lurus ke depan. Ia tahu ibunya sudah bertemu dengan (Name). Wanita paruh baya itu pasti mengatakan hal buruk. Ia paham akan ketidaksukaan sang ibu pada gadis pilihannya.

"Malam ini tidurlah lebih dulu." Hiori mengusap lembut surai (h/c) kekasihnya. "Aku masih ada sedikit urusan."

Sehabis mengatakan itu, Hiori mengantar (Name) pulang ke apartemen. Setelahnya ia bergegas ke sebuah mansion besar keluarganya. Cepat atau lambat urusan ini harus ia selesaikan demi kedamaian hidupnya dan (Name).

Sebegitu susahnya kah meraih kebahagiaan yang Hiori inginkan? Padahal selama ini ia tidak menuntut banyak pada mereka yang dikatakan keluarga.

"Apa yang Ibu bicarakan pada (Name)?" Hiori bertanya to the point dihadapan sang ibu yang berada di ruang keluarga.

Ayah Hiori sedang membaca koran, mengangkat sebelah alisnya. Putra tunggal semata wayangnya pulang hanya untuk mempersoalkan gadis asing itu.

"Aku hanya memberinya sedikit teguran." Jawaban cuek seperti itu bukan diinginkan Hiori. "Gadis itu mengadu padamu?" Ibunya melayangkan pertanyaan balik dengan nada mengejek.

"Aku menginginkan (Name), bukan gadis lain!" tegas Hiori penuh penekanan. "Dan (Name) sekalipun tak pernah membicarakan perihal pertemuannya dengan ibu. Kekasihku tidak seburuk yang kalian pikirkan."

Ayah Hiori berdehem pelan. Seolah menengahi perdebatan antara ibu dan anak itu.

"Apa pun yang kamu katakan, tidak akan mengubah keputusanku Hiori. Kau harus menikah dengan Hikari." Nada bicara terkesan halus namun tajam. Keputusan itu sudah mutlak di tetapkan. Bahkan tanpa persetujuan Hiori.

"Aku tidak pernah bilang setuju dengan perjodohan konyol kalian." Hiori mengepalkan kuat tangannya. Kesal untuk kesekian kalinya diatur bagai boneka.

"Ini demi kebaikanmu, Nak! Lagi pula keluarga gadis itu lebih dulu tidak merestui hubungan kalian."

"Apa maksud ayah?" tanya Hiori heran.

Ibunya menghela napas. Ini waktu mengatakan kebenaran yang sebenarnya. "Kami pernah melamar gadis itu untukmu." Jeda sejenak, beliau agak ragu menatap anak semata wayangnya. "Dia sudah dijodohkan dengan pria lain."

"Apa?" Hiori mengerjap tak percaya.

"Itu kebenaran yang harus kau ketahui." Pandangan dingin menusuk sang ayah, seolah menyadarkan Hiori pada realita.

───── ❝ 𝑇𝑜 𝐵𝑒 𝐶𝑜𝑛𝑡𝑖𝑛𝑢𝑒𝑑❞ ─────

Glory Of The Snow || Hiori✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang