__________
Sudah berapa banyak waktu yang aku lewati?
Sinar bulan masuk melalui kaca jendela dan menerangi lorong panjang, setiap irama dari langkah kaki bergema memenuhi setiap sudut. Ranting yang bergerak tertiup angin, menciptakan ketukan yang tidak harmonis.
Detak jantung waktu yang tak terdengar mulai berbisik di sebelah telinga, memintanya agar segera terkapar menyedihkan.
Kepala yang tidak menoleh selalu mengunci padangan ke depan, tidak sekalipun mengambil lirikan ataupun sekadar mengedipkan mata. Mulut itu tertutup rapat dengan badan yang tegap, dan sepasang kakinya tidak berhenti.
Setiap jendela yang berbaris di kiri dan deretan pintu di sebelah kanan. Tak ada satupun yang boleh dibuka olehnya, semua itu hanyalah ujian untuk menahan diri.
Semua itu ada di sekitarnya, berkumpul dan berpusat pada satu tujuan.
Kalau ia bersungguh-sungguh ingin keluar dari ilusi ini, kalau dia memang sungguh ingin menyelamatkan dirinya dan yang lain.
Maka, hanya ada satu jalan. Jalan yang hanya bisa dipilih olehnya seorang. Jalan yang memegang nyawa teman-temannya. Jalan keluar dari tempat ini.
Tidak boleh berhenti, tidak boleh beralih perhatian. Harus terus berjalan. Harus. Harus. Harus menuju dan mencapai jalan keluarnya.
Tapi, pikirannya yang ingin terus bertahan selalu berlawanan dengan hatinya. Karena bagaimanapun juga, setiap tangannya membuka pintu itu, pintu tersebut membawanya kembali menuju garis awal.
Dan suara tawa bahagia selalu menyambutnya, seperti burung gagak yang tiba-tiba berbunyi lalu terbang menjauh. Tubuh yang bergejolak, mulai merasakan adanya kehadiran tangan yang mengelus wajahnya.
Aku seharusnya tidak membiarkan mereka pergi sendiri.
Kematian tanpa sebab. Bukan. Kematian selalu ada penyebabnya. Itu cuman tergantung apakah manusia mengetahuinya atau tidak.
Benar, kan?
Tapi, kebanyakan populasi manusia hanya dapat menerima kematian dengan penyebab yang masuk akal. Bersembunyi di kalimat tidak percaya, namun tak bisa membuktikan nya.
Layar abu-abu pun ditunjukkan oleh televisi tabung, tayangan hitam putih dengan suara semut yang memenuhi satu ruangan.
Tombol pengaturnya ditekan berkali-kali, bersamaan dengan tenggorokan yang menelan ludah. Sepasang mata melotot pada benda elektronik itu, menyumpahinya dalam hati untuk segera mati.
Cepatlah mati! Mati! batinnya.
Beberapa tetesan keringat mengalir turun dari pipinya hingga ke dagu, lalu terjatuh membasahi lantai ruangan. Kakinya menginjak keringatnya sendiri, berjalan mendekati benda tua dan memukulnya dengan kencang.
Kenapa harus menyala di saat seperti ini?!
Tindakan bodoh.
Belum mencapai satu menit, bunyi langkah kaki tertangkap oleh telinganya. Pompaan jantung mengalir deras seolah mendengar bunyi lonceng kematian, segera melempar remot ke televisi hingga serpihan kaca nyaris mengenainya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rehtona_
HorrorSebuah kota pinggiran terselimuti oleh hal mistis yang memakan nyawa penghuninya. Bau anyir pada setiap tempat dan sudut, menjadikan kota itu sebagai pusat mimpi buruk. Ketika sebuah lonceng berbunyi, air akan turun dari langit untuk menghantam tana...