Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh. Pepatah kuno yang tepat bagi kita untuk bisa membangun masa depan dengan keahlian masing-masing dan saling mendukung satu sama lain.
🥀
Setelah beberapa waktu dijalani, serangkaian tahapan demi tahapan untuk menyelesaikan urusan perceraiannya dengan Gafi, akhirnya hari ini Gizca dan Gafi telah resmi bercerai.
Gizca menarik napas panjang lalu membuangnya. Beban yang selama ini ia jalani selama hampir dua tahun ini akhirnya bisa ia lepas.
“Gak boleh sedih. Lo udah bebas sekarang, Gafi gak akan bisa nyakitin lo sama anak lo lagi,” ucap Nevan menyentuh kedua pundak Gizca seraya mengembangkan kedua sudut bibirnya. “Fokus sama tujuan lo selanjutnya sama fokus rawat Gadisa. Gue sama ayah di sini, selalu ada buat lo. Kalau butuh bantuan, bilang aja.”
“Lo ... di sini? Bukannya lo mau ngelanjutin S2? Fokus, Van, S2 lo itu penting, jangan terlalu pikirin gue. Gue baik-baik aja, gue juga gak ngerasa sedih ngelepas Gafi. Mungkin aja gue seneng karena gue udah berhasil terlepas dari sumber rasa sakit gue.”
Nevan masih setia mengembangkan senyumnya. Perlahan ia menarik tubuh berisi Gizca ke dalam dekapannya. “Hubungi gue kapanpun lo butuh. Sebagai abang, gue bakalan selalu ada buat adik gue. Harusnya gitu, ‘kan?”
Kedua tangan Gizca naik untuk membalas pelukan Nevan. Mencari kenyamanan yang dulu pernah ia dapatkan dari laki-laki yang berstatus sebagai kakak tirinya itu.
Sementara Dizcha, Alvarez, Sekala, Zaldelia, dan Feri hanya diam memperhatikan interaksi kedua saudara tiri itu. Feri sebagai ayah tentu saja senang bisa melihat semua anak-anaknya akur walaupun mereka bukan saudara kandung. Tetapi, di suasana seperti sekarang, hatinya benar-benar tersentuh.
Seandainya saja istrinya masih ada dan bisa hadir di sini, dia juga pasti akan senang melihatnya.
“BUNDAAA!”
Teriakan nyaring itu terdengar dari undakan tangga. Dia gadis kecil yang berlari saling mengejar itu tak henti-hentinya berteriak memanggil bundanya.
“Bundaaa, Mancy ambil barbie punya Nav, Bunda!”
“Nav bohong, Nda! Mancy cuma pinjam barbie-nya kok.”
Teriakan keduanya semakin memekakkan telinga saat mereka sudah berada di antara kumpulan orang dewasa.
Navya dan Mancy berebut untuk mendapatkan posisi duduk di samping Zaldelia dan saling mengadu.
“Jangan berteriak. Gadisa dan Aneisha sedang tidur, kalau kalian berteriak seperti tadi, itu akan mengganggu tidur mereka berdua,” tegur Zaldelia.
“Maaf, Bunda. Nav gak tau kalau mereka lagi tidur.”
“Mancy tau mereka lagi tidur, tapi karena Nav yang duluan teriak, Mancy jadi ikutan teriak. Maaf ya, Bunda.”
Zaldelia mengusap puncak kepala kedua gadis kecil itu. “Bunda maafkan tapi kalian harus janji buat gak teriak-teriak kayak tadi, apapun kondisinya.”
Navya dan Mancy saling pandang seolah tengah berdiskusi untuk mengiyakan perkataan bundanya atau tidak.
“Tidak perlu seperti itu, Zaldelia. Wajar kok anak-anak berteriak seperti itu. Suatu saat jika mereka sudah tumbuh dewasa, kamu pasti akan merindukan teriakan-teriakan ini. Biarkan saja mereka bahagia dengan masa kecilnya,” ujar Feri.
Zaldelia mengangkat kepalanya untuk menatap wajah ayah mertuanya. “Iya, Ayah.”
“Nanti malam ayah akan memasak makanan kesukaan kalian semua. Jangan dulu pulang, ya. Menginaplah di sini sampai beberapa hari ke depan. Temani Gizca dan Navya di sini,” pinta Feri.
YOU ARE READING
𝐀𝐛𝐨𝐮𝐭 𝐍𝐚𝐯𝐲𝐚 𝐟𝐨𝐫 𝐃𝐚𝐝
Teen Fiction𝐊𝐨𝐩𝐢 𝐬𝐞𝐦𝐩𝐮𝐫𝐧𝐚 𝐤𝐚𝐫𝐞𝐧𝐚 𝐫𝐚𝐬𝐚 𝐩𝐚𝐡𝐢𝐭𝐧𝐲𝐚. 𝐁𝐞𝐠𝐢𝐭𝐮 𝐩𝐮𝐧 𝐝𝐞𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐤𝐢𝐭𝐚, 𝐜𝐞𝐫𝐢𝐭𝐚 𝐤𝐢𝐭𝐚, 𝐝𝐚𝐧 𝐬𝐞𝐦𝐞𝐬𝐭𝐚. - 𝐀𝐛𝐨𝐮𝐭 𝐍𝐚𝐯𝐲𝐚 𝐟𝐨𝐫 𝐃𝐚𝐝 🥀 Bagai langit sore yang disertai dengan cahaya jingga...