Ishak Alamsyah.
Suara serempak disusul langkah kaki para jamaah menghiasi pandangan usai kututup kajian malam ini. Aku tak terlalu fokus ketika ustadz Subyan, sang takmir masjid, menyalami dan mengajak berbincang. Ujung mataku melirik ke sudut kanan masjid, sedikit gusar, khawatir sosok itu akan beranjak dari tempatnya. Syukurlah ustadz Subyan segera beralih ketika ada seorang jamaah yang memanggil beliau. Kuhela napas panjang sebelum memantapkan langkah menemui sosok lelaki paruh baya itu.
"Assalamu'alaikum, Pak Jamal." Aku segera duduk bersila dan mengulurkan tangan.
"Walaikumsalam, Ustadz," sambut Pak Jamal menyalamiku.
"Saya bisa minta waktu sebentar? Ada yang ingin saya bicarakan dengan Bapak."
Tampak Pak Jamal mengernyitkan dahi. "Tentang apa, Ustadz?"
"Panggil Ishak saja, Pak." Aku mengedarkan pandangan ke sekitar. "Mohon tunggu sebentar, ada hal pribadi yang ingin saya sampaikan empat mata dengan Bapak."
Pak Jamal mengangguk mengerti. Aku mencoba berbasa-basi sejenak, menunggu keadaan lebih sepi. Kembali kuhela nafas sebelum memulai kata. Jujur saja jantungku mulai tak beraturan degupnya.
"Saya bermaksud untuk mengkhitbah putri Bapak. Aina."
Pak Jamal tampak terkejut mendengar kalimatku. Reaksi yang sudah bisa kuprediksi sebelumnya.
"Ustadz ...."
"Ishak saja, Pak."
"Baiklah." Pak Jamal menggangguk dan menghela nafas. "Begini, Nak Ishak ...." Beliau tampak berat untuk berkata.
"Tentu Nak Ishak sudah tahu jika Aina telah menikah."
Aku mengangguk. "Dan berpisah."
Pak Jamal kembali menatapku terkejut. Beliau menggelengkan kepala. "Jangan katakan ...," desahnya terlihat ragu untuk melanjutkan.
Aku tersenyum tipis. Memahami raut gelisah di hadapanku.
"Bapak jangan salah paham."
"Tidak banyak yang tahu tentang kondisi Aina sebenarnya. Keluarga, bahkan tetangga kami. Lalu sedekat apa hubungan kalian?"
"Saya tahu karena beberapa bulan lalu Aina sempat berkonsultasi pada saya sebelum melayangkan gugatannya."
Pak Jamal memijit pelipisnya. Tampak raut gelisah yang makin kentara. Apa aku salah bicara?
"Kenapa justru pada Nak Ishak?"
Aku beristighfar. Ternyata ucapanku ditafsirkan berbeda.
"Pak Jamal, jangan menduga apapun tentang Aina. Tentu Bapak tahu jika kami dulu pernah satu sekolah. Namun setelah itu saya tak pernah bertemu apalagi tahu kabar Aina karena saya pindah ke kota lain. Hingga saat itu. Sekitar tiga tahun lalu. Sejujurnya, kami hanya dua kali berkomunikasi. Pertama, ketika mengisi kajian muslimah di masjid ini untuk pertama kalinya. Saat itu Aina menyapa saya. Dan kedua, ketika dia menghubungi saya mengatakan ingin berpisah karena suaminya pergi meninggalkannya. Saya bersumpah, tidak ada komunikasi selain itu antara kami."
Jantungku makin berdebar. Saat ini aku jelas gusar karena kulihat Pak Jamal masih belum sepenuhnya percaya.
"Jadi ... Aina tidak tahu tentang niat Nak Ishak?"
Aku menggeleng. "Tidak."
"Memang benar Aina ditinggalkan suaminya. Tapi tentu Nak Ishak paham dengan urusan legalitas. Bagaimana Nak Ishak bisa yakin status Aina telah berubah secara hukum?"
Kuhela nafas sejenak. Saatnya mengaku. "Maaf, mungkin tindakan saya terkesan lancang. Saya diam-diam mengikuti perkembangan proses hukum Aina."
Pak Jamal kembali mengerutkan kening. "Sejauh itu?"

KAMU SEDANG MEMBACA
BIARKAN AKU MENGGENGGAM TANGANMU
Short StoryIshak Alamsyah, seorang ustadz yang masih lajang berniat mengkhitbah putri salah satu jamaah masjid tempatnya mengisi kajian. Siapakah Aina Sabilla Rasyid? Mengapa perempuan itu yang dipilih Ishak?