BAB 1

9 3 1
                                    

"Pa, Zafa ikut boleh?"

"Tinggal di rumah, dan jadi anak baik. Tingkatkan prestasi kamu. Saya malu punya anak yang bodoh. Jika kamu sudah merasa pintar temui saya dan katakan apa yang kamu inginkan."

Mendengar perkataan Papanya Zafa hanya bisa pasrah. Ia merasa waktunya bersama Fahri sangat sedikit dikarena Papanya itu sangat sering bekerja diluar kota maupun luar negeri, kalaupun pulang mungkin hanya satu dua hari saja setelahnya ia akan pergi kembali.

Ini bukan pertama kalinya Zafa meminta untuk ikut, tapi penolakan yang sama terus dilakukan oleh Papanya. Zafa tak tahu alasan Papanya sangat tak ingin dia untuk ikut dan memaksanya untuk menjadi anak yang pintar. Zafa akui dia adalah anak yang bisa dibilang bodoh disekolah dia tidak unggul dibidang apapun kecuali olahraga. Banyak prestasi Zafa di bidang tersebut namun Fahri tak menghiraukannya menurutnya itu bukan hal yang membanggakan.

Zafa telah kehilangan Ibu sejak kecil, tak ada yang menjelaskan tentang kemana Ibunya yang ia tahu hanya namanya saja, tidak dengan rupa. Banyak tante dari pihak Papanya yang mengatakan Ibunya telah meninggal, tapi Neneknya berkata tidak tahu tanyakan saja pada Papa mu. Berkali-kali Zafa bertanya kepada Papanya tentang dimana sosok Mama, tapi Fahri hanya menatapnya datar kemudian pergi meninggalkannya bahkan hampir sembilan bulan Fahri tak pulang ke rumah ketika Zafa menanyakan hal itu. Oleh sebab itu, Zafa tak lagi membahas apapun tentang Mamanya ia takut Papa marah dan tak ingin kembali.

***

Zafa memandang dari jendela kamarnya kepergian mobil yang membawa Fahri semakin menjauh dari rumah.

"Bosan, Papa kok tega sama gue. Kan cuma pengen ikut, lagian kan lagi libur. Emang hari libur harus belajar juga. Aneh emang nih si Papa," Zafa terus mendumel ia sangat kesal dengan Fahri.

Suara ketukan dari pintu membuat Zafa berhenti mengoceh, dengan malas ia berdiri untuk membuka pintu.

"Halo Zafa, adikku tersayang, tercomel, tergemoy, terbaik, dan tercantik."

Zafa menyesal membuka pintu, andaikan ia tahu bahwa yang datang adalah Nathan sepupu sekaligus saudara sepersusuannya yang datang pas ada maunya aja. Tapi, Zafa juga sama sih datang ke Nathan pas ada butuhnya juga. Mereka bertetangga rumah Nathan berada tepat di depan rumah Zafa hanya terpisah oleh jalan raya.

"Nyesel gue buka pintu. Balik sana." Zafa menggerakkan tangannya untuk mengusir Nathan.

"Ih, adeknya Abang kok gitu sih. Padahal gue ada berita buat lo," ucap Nathan sambil menyelonong masuk ke dalam kamar Zafa.

"Gak sopan."

"Biarin, aku tak peduli."

"Mau ngomong apa lo? Kalau gak penting gue gampar lo."

"Sabar atuh, Neng. Suguhin minum dulu biar enak gue ngomongnya."

Mendengar hal itu Zafa mengambil minuman bersoda di kardus yang ia letakkan di bawa ranjang lalu melemparnya ke arah Nathan yang sedang duduk di sofa. Melihat lemparan tiba-tiba itu Nathan segera menghindar karena botol soda itu seperti mengarah ke wajahnya.

"Kualat lo sama Abang sendiri. Kalau wajah tampan gue kena nih soda terus hancur, lo orang pertama yang gue cari."

"Kalau masih mau basa-basi mending lo pulang deh, gue capek pengen istirahat," ucap Zafa dengan nada ngegas. Sambil duduk di ranjang.

"Santai, ini mau cerita. Jadi tadi gue lihat bokap lo lagi makan bareng cewek di resto dekat Mall itu loh, Fa. Gue curiga lo bakal punya Emak baru."

"Rekan bisnis paling," ujar Safa santai.

"Heh, mana ada rekan bisnis makan sambil pegangan tengan, suap-suapan, lirik-lirikan sambil malu-malu kucing begono. Gue rasa kagak ada yeh," ucap Nathan sambil membuat gerakan memutar pada bola matanya. Pada akhirnya ia menceritakan kejadian itu dari awal sampai akhir kepada Zafa dan berharap gadis itu akan percaya.

Nathan menceritakan kejadian itu kepada Zafa dengan menggebu-gebu. Ia kira dengan menceritakan versi detail bagaimana mereka datang, makan, sampai pulang dapat membuat Zafa percaya ternyata tidak. Gadis itu kekeh dengan pendiriannya bahwa wanita tersebut hanya sebatas teman kerja tidak lebih.

"Capek, gue. Serah lo dah percaya atau enggak. Tapi, satu yang harus lo tau kalau emang bokap lo nikah dan semakin jauh dari lo, mendingan lo pergi Fa. Ada keluarga gue yang siap nampung lo kok. Kebetulan kita lagi butuh beban baru." Baru saja Zafa hampir terharu dengan perkataan Nathan, namun dalam waktu bersamaan ia juga dibuat naik darah oleh sepupu kurang ajarnya ini.

Zafa mengangkat bantal tinggi-tinggi dan bersiap ingin melempar Nathan, tapi pria itu telah lebih dulu lari keluar dan pulang kerumahnya. Zafa dapat mendengar kekehan Nathan yang sangat keras karena telah berhasil membuatnya marah.

Bohong jika Zafa tak memikirkan apa yang Nathan sampaikan tadi. Dipikirannya terbesit rasa takut jika memang itu benar. Ia senang akhirnya Papanya menemukan pasangan hidupnya. Namun, ia juga sedih takut jikalau nanti Papanya semakin melupakan dirinya karena telah memiliki keluarga baru.

Akhirnya, Zafa memutuskan untuk membersihkan diri dan tidur. Ia tak bisa terus-terusan memikirkan perkataan Nathan tadi, yang bisa membuatnya tak tidur semalaman, Zafa memilih meminum obat tidur yang dapat membuatnya tidur nyenyak sampai pagi dan berharap hari esok lebih indah dari hari ini.

PAPA SAYANG ZAFA?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang