Chapter 8

23 0 0
                                    

Mimpi yang absurd.

Roro mendut, rokok, dan perlawanan perempuan. Tiga keyword yang tiba-tiba memenuhi isi kepala setelah alam bawah sadar lepas menguasai diri.

Aku terbangun di markas, Zahrow telah menutup laptopnya dan makan bubur ayam, khidmat sekali, Aku tidak lapar sama sekali. Markas juga mulai ramai. Aol, Tyas, dan Ipin tengah mengobrol.

Dengkur kipas angin memutar, menjadi sedikit lebih tersamarkan oleh perbincangan. Mereka sedang membicarakan terkait vendor pemiluwa dan kecurigaan akan hal-hal janggal yang ada pada PPM (Panitia Pemilihan Umum Mahasiswa) hari ini.

Aku belum berminat untuk turut speak up membicarakan PPM sampai Zahrow menyentil.

‘’La, kamu ngikutin isu KBM 3 mentri kan?’’ Zahrow telah selesai memakan buburnya, bertanya.

Aku mengangguk ‘’Iya, Aku udah kirim  tulisan opiniku, ke Mas Adi semalem. ‘’

Zahrow membereskan bungkus bubur ayamnya, tanpa menatap ke arahku. Sejujurnya ada hal yang ingin kubaca di netranya yang seperti menyembunyikan sesuatu.

‘’Ngomong-ngomong, lagi tumben nih, jatah liputanku mingguan ini ga ada yang straight news,’’ celotehku.

Zahrow menghela nafas, obrolan Aol, Tyas, dan Ipin terhenti. Mereka mengheningkan cipta sejenak.

‘’Dikasih opsi sih, tapi ga ada yang warta kampus. Bahkan direkomendasikannya nulis opini, esay, editorial yang bukan seputar UIN. ‘’ Aku menatap mereka satu persatu, membaca ekspresi tercekat yang kikuk.

‘’Ini ga ada yang mau tukeran topik apa?’’ alisku terangkat sebelah, ikut mempertanyakan apa yang diucapkan, seolah mempertegas dan menggaris bawahi.

‘’Gais, kalian skeptis sama Aku yang kader pergerakan?’’ tanyaku sekali lagi.
Lengang sejenak, mereka saling menatap satu sama lain.

‘’Bukannya gitu, La, ‘’ Aol menimpali.

‘’Mending kamu tanyain langsung deh sama Mas Adi, barangkali dia lebih percaya sama kamu buat ngawal isu-isu nasional, kamu kan yang lebih sering riset terkait itu, jadinya jatahmu nulis itu, ‘’ lanjutnya.

‘’Engga juga si, dibandingkan sering riset terkait isu nasional, Aku justru lebih sering ngopi sama para pemangku kepentingan pemiluwa. ’’ Tersenyum songong, tidak bermaksud jumawa, Aku hanya mengetes kepercayaan mereka terhadapku.

‘’Nah itu makanya, Mba. Nanti kalo Mba Lail diintervensi sama mereka gimana? Kan kita independen, ‘’ tukas Ipin, sepertinya dia keceplosan.

Sontak Aku melihat keterkejutan di wajah Zahrow, Aol, dan Tyas. Selanjutnya, Ipin menabok mulutnya sendiri.

‘’Waw, sudah kuduga. ‘’ Aku tertawa, geleng-geleng kepala. Mengapresiasi kejujuran Ipin, dia polos sekali. ‘’Mas Adi di mana ya?’’

Aku beranjak mengambil masker, memakainya. Menyabet tas, berancang-ancang pergi. ‘’Nanti Aku bakal dateng kok di diskusinya PPMI, kabarin info pertebengan ya, di grup. Aku ada urusan sebentar. ‘’

Tyas menarik lenganku agar duduk kembali ‘’Sebentar La, jangan salah paham dulu. ‘’

‘’La, kamu lagi capek, sini aja, gak usah ke mana-mana, nanti juga Mas Adi bakal ke sini. ‘’

Ipin menyodorkan sebungkus signature beserta koreknya, mungkin mereka pikir Aku hendak melampiaskan amarahku secara membabi buta kepada Mas Adi. Padahal tidak juga, Aku memaklumi kekhawatiran Mas Adi. Dia memang tipikal jurnalis yang sangat hati-hati dan serba waspada.

Ternyata, di mata Mas Adi Aku sedangkal itu. Astaga, kode etik jurnalistik poin mana yang tidak pernah Aku renungkan?

Tentu Aku tahu, bahwa jurnalis dituntut untuk menempuh cara-cara yang profesional dalam pemberitaan, dan tidak semua kader pergerakan, berambisi di dunia politik kampus.

Bucinisme RadikalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang