Awan yang berwarna abu-abu gelap, angin yang bertiup semakin kencang, dan suasana tegang yang menyelimuti mereka semua. Para prajurit yang melakukan diskusi hampir satu jam penuh bersama pemimpin mereka. Menentukan langkah selanjutnya yang akan mereka ambil. Udara yang semakin dingin membuat beberapa prajurit tersebut menambahkan batubara pada perapian di tenda militer.
Para prajurit menatap satu sama lain. Memberikan kode dengan anggukan kecil, lantas menoleh ke arah pria yang terbungkus jubah abu-abu, perawakannya yang gagah, serta rambut hitam panjangnya. Victor mengerti. Pandangannya beralih kepada salah satu panglima tertinggi kebanggan Victor seraya menggosokkan cincin giok yang berada di ibu jarinya.
"Anda terlihat diam saja, Panglima Jenderal Rora. Apa pendapatmu mengenai hal ini?" Tanya Victor serius kepada Rora.
Diskusi mengenai keputusan antara mengepung kota atau tidak, dan bagaimana harus melakukan hal tersebut dengan rencana yang matang. Rora bangkit dari duduknya, berdiri tegas dan mengamati sekitar sebelum berbicara.
"Musim salju sebentar lagi akan tiba, dengan adanya hal tersebut membuat kita akan kesulitan untuk mengirim persenjataan serta perbekalan. Jika kita ingin menyerang Kota Yudu, dibutuhkan beberapa bulan karena tembok luar Kota Yudu dan bagian dalam memiliki pondasi yang kokoh." Jelas Rora dengan tegas. Kemudian, ia melanjutkan pendapatnya. Semua mata tertuju pada Rora. Menantikan pernyataan Panglima Jenderal tersebut.
"Seperti yang kita bahas sebelumnya, para pejabat ingin menghentikan perselisihan dalam politik yang ada di Kota Yudu. Sehingga mereka ingin menyerang Kota Yudu. Namun, jika kita hanya mengepung dan tidak melakukan perlawanan, saya khawatir itu akan menggagalkan semuanya."
Angin yang semakin kencang, terdengar segerombolan burung gagak hitam melintasi tenda dengan kicauannya yang melengking. Tenda tiba-tiba menjadi sunyi sepi, semua orang terdiam termasuk Victor. Rora duduk kembali seraya merapikan pakaiannya.
Kemudian, Victor berdiri dan menegakkan punggungnya. "Serang kota dalam waktu tujuh hari."
Victor beranjak dari duduknya. Terdengar bunyi armor yang digerakan secara serempak, para prajurit spontan berdiri dan menundukan kepala dan meletakkan salah satu tangan di dada. Memberi hormat ketika Victor berjalan pergi.
"Pada perang ini, bergabunglah dengan saya untuk mengembalikan kejayaan orang-orang Daze agar perdamaian dan ketenangan dapat kembali kepada mereka."
Note:
Kota Yudu: Central City
Daze: Country※※※※
Matahari telah tenggelam setelah rapat tersebut selesai dua jam yang lalu. Pemandangan yang gersang, langit malam yang sedikit tidak bersahabat, serta pegunungan yang mengitari tenda mereka. Para prajurit masih bisa bercanda gurau sambil memakan roti kukus dan anggur di tangan mereka. Di dalam tenda, Rora membersihkan pedangnya dengan kain. Sudah lama ia tidak membersihkan pedangnya setelah beberapa kali menelan korban jiwa. Rora menghela nafas pelan. Ia merasa bosan, namun suara di luar cukup menghiburnya. Sudah biasa ia mendengar gosip dari para prajurit."Tahu tidak? Setelah perang ini berakhir, Jendral bilang aku bisa kembali ke kampung halaman ku. Kembali bertani dan menikah sungguh rencana yang ku impikan." Ucap Prajurit satu dengan senang.
"Ah tapi, ketika perang usai … kita tidak bisa mengikuti Jenderal lagi. Kau tahu kan, bahwa Yang Mulia dan Jenderal sangat dekat? Bahkan tidak heran jika Jenderal akan dijadikan permaisuri oleh Yang Mulia ketika beliau menjadi Kaisar." Sahut Prajurit Dua menyampaikan pendapatnya dan menimpali Prajurit Satu.
Kemudian, secara tiba-tiba terdengar sahutan dari Prajurit lainnya dengan pendapat berbeda. "Ah, tidak mungkin! Jenderal tidak akan menerimanya. Beliau suka bermain dengan pedangnya, berkuda, berburu dan berpetualang. Jika ia menjadi Permaisuri, ia akan bosan seharian berkutik di Istana."
Pembicaraan itu membuat Rora tertawa pelan. Aneh-aneh saja omongan mereka, batin Rora. Ia kembali memasukan pedang nya ke dalam sarung pedang. Rora masih mendengar para prajurit berbicara dan bergosip, sebelum keheningan menghampiri mereka ketika Victor memasuki tenda milik Rora.
Terlihat tubuh jangkung memasuki tirai tendanya, Rora cepat-cepat berdiri. Kemudian membungkukkan badan memberi hormat. "Selamat Malam Yang Mulia Victor. Ada yang bisa saya bantu?"
Victor berhenti di hadapan Rora. Pandangannya tertuju pada tangan kanan Rora. Sang wanita segera mengangkat tubuhnya, tersenyum formalitas.
"Tangan mu."
Rora seketika membatu. Mengingat apa yang baru saja ia lakukan satu jam lalu dengan beberapa prajuritnya untuk latihan. Rora menggigit bibirnya, ia mengulurkan tangan kirinya kepada Victor.
Merasa jengkel, Victor justru meraih tangan kanan Rora. Melepas sarung tangan serta pelindung lengan yang Rora kenakan. Dan benar saja dugaan Victor. Cahaya remang-remang dari lilin memperlihatkan perban yang melingkari pergelangan tangan Rora terlihat bercak darah yang masih baru.
"Masih ingin menyembunyikannya dariku?" Tanya Victor datar. Sang pemuda menghela nafas. Ia berjalan mendekati ranjang kecil di belakang Rora berdiri. Duduk ditepi nya, diikuti Rora yang duduk disamping Victor.
Perlahan, Victor melepas perban pada tangan Rora. Lalu setelah usai, ia mengambil obat salep dari saku-nya. Membukanya kemudian mengoleskannya pada luka Rora. Sensasi dingin dan perih menjadi satu, Rora meringis kesakitan. Namun sensasi hangat muncul dari jari Victor yang mengoleskan salep tersebut--rasa perih tersebut perlahan menghilang.
"Sedikit lagi, kita bisa membalaskan dendam kita pada Istana Kekaisaran. Kematian rakyat yang tidak bersalah, bahkan kakak ku yang tewas demi menyelamatkan mereka." Lirih Rora sambil menatap Victor. Ketika Victor usai mengobati Rora, sang jenderal menarik kembali tangannya.
"Aku akan berusaha sekuat mungkin. Bahkan jika harus mengorbankan diri." Rora tersenyum tipis. Victor membalas tatapan Rora, keningnya sedikit berkerut. Rora yang penuh dengan kobaran semangat untuk membalas dendam--membuat Victor sedikit cemas. Ia menghela nafas perlahan.
"Bukankah kau juga sama denganku? Membalas dendam demi mengambil apa yang seharusnya milikmu." Victor sedikit menundukan kepalanya walau ia masih menatap Rora. Ia terdiam dan tidak menyangkal apa yang baru saja Rora katakan.
Saat itu, ketika Ayah Victor menjadi Kaisar dan Ibunya menjadi permaisuri di Kota Yudu. Kota pusat dari semua kekaisaran pada masa itu. Lalu, politik dan perebutan takhta yang selalu menjadi masalah di dalam istana kekaisaran membuat Ayah Victor, mengasingkan Victor dan memberinya sebuah negara dan menjadikan Victor Raja di sub-kota, Kota Liang.
Beberapa tahun setelahnya, Ibunya jatuh sakit dan meninggalkan Victor. Disusul oleh Ayahnya yang dibunuh. Pada akhirnya, Kota Yudu berhasil direbut oleh seseorang diluar garis keturunan Istana. Raja Chen. Raja tersebut, berhasil melancarkan rencananya membunuh Ayah Victor. Sehingga membuat Victor, bertekad untuk membalaskan dendamnya sendiri.
"Ya aku tahu. Tapi, bukan berarti kamu harus memaksakan diri mu, Rora." Balas Victor pelan. Ia kembali menatap Rora. Mengangkat salah satu tangannya, dan meletakkan telapak tangannya di atas telapak tangan Rora. Menggenggam tangan Rora lembut.
"Namun, aku memiliki janji kepada kakak mu untuk melindungimu."
Rora terdiam, perlahan ia mengalihkan pandangannya menuju tirai tenda. Menatap Victor membuat Rora mengingat kejadian-kejadian kelam lima tahun lalu. Bagaimana ia harus berjuang dari titik tersulit hingga sekarang. Ketika Rora berjuang sendirian ketika orang-orangnya tumbang terlebih dahulu untuk melindunginya. Satu-satunya putri keluarga Xue yang masih hidup.
Rora pun teringat ketika dirinya saat itu tertembak oleh panah dan terjatuh dari kuda ketika melarikan diri dari Kota Yudu dan akan memasuki Kota Liang. Ia juga ingat ketika Rora sadar, ia melihat raut wajah Victor yang sangat cemas dan kantung mata-nya. Kenangan itu terus menari-nari di pikiran Rora sampai sekarang.
"Tenang saja. Selangkah lagi kita akan menuju pada kemenangan kita. Demi kita semua, kamu, dan aku. Aku percaya kamu bisa memimpin Kota Yudu, bahkan Negara Daze. Memberikan mereka perdamaian dan kesejahteraan." Ucap Rora, ia menatap Victor sekali lagi. Kali ini, ia tersenyum. Seketika, ingatan itu perlahan menghilang dari Rora.
"Kalau begitu, aku sangat berharap yang terbaik kepadamu untuk kemenangan kita." Victor membalas senyuman Rora. Ia mengeratkan genggaman tangannya. Malam itu, semangat membalaskan dendam mereka mulai berapi-api kembali dan melupakan masa lalu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Redamancy || Victor
FanfictionRedamancy (n.) the act of loving the one who loves you; a love returned in full. 𝙼𝚎𝚛𝚎𝚔𝚊 𝚜𝚊𝚕𝚒𝚗𝚐 𝚙𝚎𝚛𝚌𝚊𝚢𝚊 𝚜𝚊𝚝𝚞 𝚜𝚊𝚖𝚊 𝚕𝚊𝚒𝚗, 𝚍𝚎𝚗𝚐𝚊𝚗 𝚙𝚎𝚛𝚊𝚜𝚊𝚊𝚗 𝚢𝚊𝚗𝚐 𝚖𝚊𝚜𝚒𝚑 𝚔𝚊𝚋𝚞𝚛 𝚜𝚎𝚛𝚝𝚊 𝚛𝚊𝚐𝚞. 𝙼𝚎𝚕𝚞𝚙𝚊𝚔𝚊�...