Satu

512 32 4
                                    

Memuntahkan isi pikiran dengan tangan ajaibnya.

Dengan telaten, seorang siswi menghias di atas kertas kosong sebuah buku jurnal dengan cover berwarna sage green-miliknya. Ini bagian akhir, waktunya ia menempel sebuah foto pholaroid di atas kertas jurnalnya.

Ia berkutat dengan tenang di atas bangku sekolahnya, sampai akhirnya sebuah kepala muncul di sebelahnya dan hampir saja mengenai pipinya. Seketika semuanya berubah.

"Et bangke. Lo ngapain, sih?!" Arin melotot marah. Laki-laki ini kerap kali merecoki pekerjaannya, apapun itu.

Jax melihat ke arah buku jurnal Arin. Lalu berujar kecewa. "Yah, lo mah. Kok muka si Dika lagi sih yang lo pasang? Gantengan juga gue,"

Ya iya lah. Si Jax gimana, sih. Pacarnya Arin kan Dika, bukan dia.

Arin mengernyit kesal. "Ya suka-suka gue, lah! Ngurus amat sih, lo. Udah ah sono pergiiiii," Arin mendorong Jax agar menjauh dari dirinya.

Jax terkekeh geli. Lalu menggeser sebuah bangku untuk duduk di samping Arin. Ia menangku dagu dengan kedua tangannya.

Arin mengepalkan tangannya pada rambut Jax seraya mendorong kepalanya ke belakang. "Jauh-jauh, ah. Sempit tau nggak,"

Akhirnya Jax duduk dengan tegak. Tapi setelah itu ia mendekatkan wajahnya dengan wajah Arin. Ia berkata seraya berbisik. "Eh, lo lagi kepengen banget IPhone 14, ya?"

Arin mengernyit heran. Bagaimana Jax bisa tahu? Dika saja nggak tahu.

"Lo mau? Jadi cewek gue sini," Jax berkata dengan percaya dirinya.

Seketika Arin tersadar. "Eh, apa-apaan lo. Gue juga mampu kali cari duit," ia menutup buku jurnalnya dan mengemasnya ke dalam tas. "Ngapain lagi harus repot-repot jadi cewek lo,"

Jax menghela napas lalu berkata pelan. Sangat pelan. "Gue naksir sama lo, anjir. Lo mah,"

Arin menatap jijik ke arah Jax.

"Et, anjir. Nggak usah kayak gitu apa muka lo. Jelek banget asli," Ujar Jax sedikit menghindar.

"Ya makanya lo jauh-jauh. Ntar lo mual liat muka gue," Arin berkata penuh penekanan. Sungguh ia rela dibilang jelek daripada Jax dekat-dekat melulu.

"Iya ya. Ini gue aja udah pengen muntah," Jax berujar lalu beranjak pergi.

Arin masih berpikir keras. Bagaimana Jax bisa tahu kalau Arin memeng lagi ngidam banget IPhone 14. Tiba-tiba sel dari otaknya merespon.

Ia akan mencari seseorang yang mulutnya mirip congor bebek. Alisa.

"Tuh kan, bener. Ternyata lo yang ngomong. Gila, gue malu banget bangsat,"

Alisa terkekeh geli. "Hahaha, sorry. Ini tuh gue gabut banget,"

"Gabut lo nyusahin orang,"

Mereka sedang berdiri di lobi sekolah selepas pulang sekolah. Arin menyempatkan diri untuk menemui Alisa untuk meminta pertanggung jawaban.

"Oh iya. Gue ada kabar bagus buat lo," ujar Alisa seraya mengeluarkan ponselnya. Ia menunjukan sesuatu di ponselnya kepada Arin. "Kemaren gue liat di facebook. Ada lowongan pekerjaan yang pas banget sama lo. Tempatnya juga ada di daerah sini,"

"Jangan bilang jadi ART,"

"Eh enggak, kok. Nih liat dulu makanya," Alisa memberikan ponselnya pada Arin.

"Gajinya lumayan banget,"

Senyum Arin merekah. Ia menatap Alisa lalu mengangguk.


Captivated | JAXPENATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang