Anak Pintar. Anak Ambis'. Perfeksionis. Idealis. Anak Emas. Anak Kesayangan.
Banyak lagi label yang mereka berikan. Walau tak setiap waktu bisa se-positif eksplisitnya. Entahlah, bisa atau mungkin karena terlalu banyak positif dunia ingin menyeimbangkan dan memberi label lainnya.
Egois. Serakah. Sombong.
Terlepas dari label orang lain, sebagai manusia, diri sendiri pun ikut melabeli.
Terkutuk. Aneh. Asing. Tak Pantas.
Banyak sekali label, sudah seperti papan feedback yang penuh sticky notes. Bersamaan dengan skeptis terhadap penilaian orang lain, penilaian terhadap diri sendiri juga diragukan. Semuanya bertentangan. Terasa semuanya berbeda-beda tak ada kecocokan.
Perasaan untuk mencari tahu muncul. Memecahkan kerumitan dan mencari matahari.
"Aku sebenarnya tidak begitu."
"Aku itu seperti ini."Ingin rasanya kalimat itu keluar dan juga didasari oleh alasan yang jelas dan bisa dilontarkan.
Sampailah di berbagai tipe-tipe yang didapat. Melankolis-Koleris; MBTI: INTJ; Enneagram: 5w4. (Berharap bisa lebih mendalami lagi)
Setelah bisa memberi jawaban atas krisis identitas. Sekarang problem baru muncul.
"Bagaimana cara aku memberitahu mereka?"
Hanya rasa ingin dihargai, hanya rasa ingin dimengerti, hanya rasa ingin disamakan, hanya ingin rasa keadilan, hanya ingin rasa kehangatan. Tapi kenapa jadi serumit ini.
Satu per satu justru label buruk itu yang dirasa pantas dan benar. Satu per satu label positif itu terasa mengasingkan, terasa diartikan mengucilkan. Seperti terlepas dari masyarakat. Seperti bukan manusia. Seperti sesuatu yang aneh dan asing.
Orang bisa salah, paham betul hal itu. Namun tak ada yang memberitahu sama sekali, hanya reaksi yang langsung dilempar tanpa alasan. Akhirnya rasa tidak mengerti dan terkucil kembali.
Hanya dalam cerita fiksi yang hebat dihargai, dihormati, dan disenangi. Atau hanya belum hebat, hanya 'jago kandang'.
Terlalu luas yang perlu diselami. Lagi-lagi terasa sepi dan asing.
Apa esensinya jika berakhir perasaan sepi dan asing itu? Akhirnya tidak ada juga yang memperdulikan, memperhatikan, menyodorkan tangannya.
"Itu kah makhluk sosial?"
Semakin mempertanyakan esensinya, semakin besar rasa benci pada dunia luar, terlebih orang-orang.
"Mari beralih ke jalan yang berbeda."
Dari psikologi atau semacamnya, beralih ke dunia spiritual. Yang paling banyak dipercaya orang di lingkungan sekitar.
Ketertarikan baru, kekaguman yang begitu besar terhadap Pencipta, didapatkan secara besar-besaran. Membuat teralihkan sejenak dari kekelaman.
Semakin dalam menyelam, semakin terasa tak ada yang dimengerti. Pertanyaan-pertanyaan semakin tak terjawabkan oleh orang-orang yang dirasa lebih pintar.
"Kenapa manusia diciptakan?"
"Apa manfaatnya untuk-Nya?"
"Apakah benar pendapat yang terlalu sepele manfaatnya untuk-Nya?"
Dan pertanyaan terbesar ialah KENAPA. Tak terjawab. Label baru justru terlempar.
Tidak beriman. Pencecar. Kurang percaya. Teoritis.
Salahkah? Sepertinya salah. Sepertinya lebih baik bungkam.
"Ayo cari di jalan yang berbeda."
Kata orang-orang yang terhormat, "Ada banyak jalan menuju Roma." Tak masalah berjalan menyusuri seluruh jalan hanya bermodal alas kaki. Asal bisa menghilangkan label-label itu. Menyangkalnya sepenuhnya. Dan menyatakan se-lantang mungkin siapa jati diri sebenarnya.
Filsafat? Filosofi? Psikologi lainnya? Berbagai agama? Ilmiah? Apalagi?
Yang kusimpulkan hanya satu. Aku tetap Luvena. Luvena Yocelyn Sanjaya. The only one, special edition, and never found out again, just once in the whole world or any time.
"Persetan kata orang. Persetan kau! Aku Luvena, jika tak suka, tak masalah, asal aku berani tidak disukai."
Meski terkadang pikiran tentang terasingkan itu mengganggu, semoga journey ini mengingatkan senantiasa.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Closed Book's Opened
Non-FictionDia adalah buku tertutup. Yang biasanya disalahpahami oleh orang-orang sekitar bahkan keluarganya sendiri. Seperti putri malu yang selalu menutup diri atas aksi eksternal, itulah reaksinya. Lambat laun, terus menutup itu membuat sesak dan muak. Tera...