SEBUAH SISI

4 1 0
                                    

Pandangan Arva fokus pada jalanan malam ini, memang tak ada yang menarik, hanya kendaraan-kendaraan yang berlalu lalang, tapi entah kenapa ia sangat nyaman menatapnya tak ada niat untuk beralih.

Sesekali ia membenarkan posisi duduknya yang terasa tidak nyaman. Ia merenggangkan otot-ototnya yang terasa pegal, tubuhnya sangat letih kali ini, ia lega karena pekerjaannya dari sore tadi akhirnya selesai juga.

Ya sepulang sekolah Arva bekerja menjadi bartender di sebuah cafe milik Bayu, seseorang yang sudah di anggapnya seperti abang sendiri, mereka kenal karena rumah milik Arva yang berada di samping rumah Bayu. Dan lambat laun waktu membuat hubungan mereka semakin dekat, hingga Bayu tau bahwa Arva ternyata tidak mempunyai orang tua, dan akhirnya ia memperkerjakan Arva di cafe miliknya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan biaya sekolahnya.

Arva sangat beruntung bisa bertemu dengan orang seperti Bayu, jika tidak mungkin ia akan sangat kesusahan hidup sendiri di Ibu kota yang keras dan padat akan penduduk ini. Bayu sangat membantunya dalam banyak hal, tidak hanya pekerjaan Bayu juga sering ia mintai tolong untuk jadi walinya jika ada pertemuan orang tua di sekolah.

Arva tidak tau lagi harus membalas dengan apa jasa orang-orang yang telah ikhlas dan tulus membantunya bahkan menemaninya untuk menjalani hidup yang baginya keras.

"Woi". Arva hampir saja terjungkal dari kursi yang ia duduki karena terkejut. Ia lalu menoleh melihat orang yang barusan menepuk pundaknya. "Huh, ngagetin aja lo bang.", ucapnya sambil memegangi dadanya yang berdegup kencang.

Orang barusan ternyata Bayu, iya sosok yang barusan tengah singgah di pikiran Arva. Bayu terkekeh melihat respond Arva, sebenarnya ia ingin ngakak tapi ia tahan karena tak enak dengan Arva. "Sampek gitu kagetnya, padahal gue cumak nepuk pelan."

Arva membenarkan ucapan Bayu dalam hati, ia juga tak tau kenapa bisa sampai seperti itu. Ia akhirnya hanya menggeleng.

Bayu mengambil tempat di kursi kosong yang berada di samping tempat Arva. "Udah selesai lo va?", tanyanya. Ia memang memberi jam kerja kepada Arva hanya sampai jam delapan, karena mengingat anak itu yang masih sekolah.

"Udah, ini mau pulang.", jawab Arva.

"Yaudah nanti langsung pulang lo, nggak usah mampir-mampir, orang bentukan udah kucel gitu.", peringat Bayu pada Arva. Pemuda yang sudah dianggapnya seperti adik sendiri itu memang sering pulang sampai tengah malam karena selesai bekerja bukan langsung pulang tapi malah pergi ke markas berkumpul bersama teman-temannya. "Lo tadi pagi hampir aja nggak sadarkan diri kalo nggak gue bangunin".

Arva meringis mengingat tadi pagi ia yang hampir telat sekolah jika tidak disiram air oleh Bayu. "Ya nggak sampek gitu juga kali bang".

"Ngeles aja kalo dibilangin, lo kalo mau sukses tuh dengerin kalo gue nasihatin".

"Udah gue dengerin". Arva langsung menyela.

"Ya harus di lakuin juga bego nggak cuma di dengerin."

"Iya-iya, lagian gue habis ini juga mau langsung pulang, udah capek semua badan gue".

Bayu mengangguk. "Yaudah sana cepet pulang".

Arva merengut kesal. "Lo ngusir gue bang?", tanyanya dengan komuk mendramatisir.

"Iya, udah sono cepet pulang", suruhnya dengan ekspresi tenang yang semakin membuat Arva kesal.

Dengan malas-malasan Arva terpaksa langsung bangkit dari duduknya. "Iya-iya gue pulang", ucapnya lalu melangkah pergi.

"Hati-hati", ucap Bayu dengan tertawa kecil.

"Hmm.."

Arva berjalan menuju tempat motornya berada, ia terhenti karena tiba-tiba seseorang mencekal tangannya.

DETIKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang