Pagi yang cerah, sang surya menyinari dunia dengan kehangatannya yang lembut. Burung-burung berkicau di luar jendela, seakan menyambut hari baru dengan riang. Alunan musik klasik mengalun pelan, mengisi ruangan yang dipenuhi dengan ketenangan. Di dalamnya, seorang pria berperawakan tinggi dengan bahu tegap tengah sibuk merapikan berkas-berkas yang berserakan di atas tempat tidurnya. Tangannya bergerak lincah, menyusun dokumen satu per satu, sementara senyum tipis terukir di bibirnya, menampilkan lesung pipit kecil yang sayangnya hampir tak terlihat.
"Bahagia banget kayaknya. Habis mimpiin apa lo semalam?" tanya Digra, partner kerjanya di Prancis, yang baru saja masuk ke kamar hotel tempat mereka menginap.
Zeronal—atau yang akrab disapa Zero—hanya tersenyum tipis, tidak langsung menjawab. Ia membuka layar ponselnya, memperlihatkan wallpaper seorang bocah berumur enam tahun yang tertidur pulas, wajah polosnya tampak damai.
"Lo nyolong dari mana tuh foto? Gemas banget! Ngambil dari Pinterest, ya?" tuduh Digra santai.
Zero langsung melotot tajam. "Woy, bukanlah!" bantahnya cepat. "Menurut lo, dia mirip gue nggak?"
Digra menatap Zero dengan alis berkerut. Tanpa menjawab, ia melihat lebih dekat ke arah layar ponsel, lalu mengeluarkan foto kecil yang terselip di dalam dompetnya. Ia menyandingkan kedua foto itu, mengamati setiap detailnya dengan teliti.
"Mirip..." gumamnya, lalu terkekeh. "Cuma lebih gemas yang di wallpaper lo, sih."
Zero mengangguk pelan, tatapan matanya menghangat. "Lo percaya nggak kalau ini anak gue?"
Spontan Digra bangkit dari duduknya. Ia menatap Zero dengan ekspresi terkejut, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. "Halu lo? Mana mungkin punya anak tanpa seorang ibu?"
Zero terdiam. Napas berat keluar dari mulutnya, menandakan ada sesuatu yang selama ini ia pendam. Digra menggaruk tengkuknya, bingung dengan perubahan ekspresi sahabatnya yang tiba-tiba terlihat murung.
"Mantan bini gue ada di negeri ini. Sama anaknya," ujar Zero akhirnya.
Digra mengerjap, mencoba mencerna informasi itu. "Bagus dong! Itu artinya Tuhan ngasih lo kesempatan kedua."
Zero mengangkat kepalanya, menatap Digra dengan sorot mata bertanya. "Kesempatan?"
"Iya, kesempatan buat lo balikan sama bini lo lagi. Eh, tapi... lo yakin anak itu anak kandung kalian?"
Keraguan jelas terlihat di mata Zero. Ia juga belum sepenuhnya yakin jika bocah yang terus ia temui memang darah dagingnya sendiri.
"Gue nggak tahu..." gumamnya putus asa.
Digra mendengus sebal. "Lo gimana sih? Jadi cowok gercep dikit, napa? Udah tujuh tahun, lo gini-gini aja! Sia-sia aja lo hidup kalau nggak ada perkembangan."
Zero memutar bola matanya, lalu menatap Digra dengan sinis. "Terus apa kabar dengan lo yang masih jomblo? Parahnya, belum kawin lagi."
Digra terkekeh kecil, kalah telak. "Ya itu sih jangan ditanya. Mungkin belum ketemu aja jodohnya."
"Alah, alasan mulu," cibir Zero.
Digra hanya mengedikkan bahu, santai. Namun, kembali mengingat pembahasan awal mereka, ia bertanya lagi, "Lo nggak ada niatan buat rujuk sama mantan bini lo?"
Zero menggeleng pelan. "Nggak tahu."
"Kok nggak tahu?"
Zero tak menjawab. Dalam hatinya, ia ingin melawan egonya, tetapi tekad yang ia buat tujuh tahun lalu masih terlalu kuat mencengkeram pikirannya. Entah sampai kapan ia akan terus seperti ini. Namun, satu hal yang pasti, ia tak akan pernah menggantikan posisi Zera di hatinya. Ia sudah berjanji pada dirinya sendiri, jika masih diberi umur panjang, suatu hari ia akan memperbaiki semua kesalahannya.
Di tempat lain, Zera tampak panik saat mengecek suhu tubuh Zefran yang tiba-tiba panas pagi itu. Bocah kecil itu mengigau dalam tidurnya, menyebut nama seseorang yang membuat hati Zera bergetar.
"Om Zero..."
"Om... Zefran mau main sama Om. Om di mana...?"
Zera menelan ludah. Dengan sigap, ia memeluk tubuh kecil Zefran yang terasa lebih hangat dari biasanya.
"Zefran, Mamah di sini, Sayang. Kamu kenapa?" tanyanya, mencoba menenangkan.
Zefran menggeliat lemah dalam pelukannya. Dengan mata sayu dan bibir pucat, ia bertanya, "Mamah tahu Om Zero?"
Zera terdiam. Kata-kata seperti tercekat di tenggorokannya. "Eng—"
"Ze, ayo berangkat—Astaghfirullah! Zefran kenapa?!" seru Dina yang baru saja masuk ke kamar, terkejut melihat kondisi keponakannya.
"Gue nggak masuk kantor dulu deh, Din. Zefran lagi sakit," jawab Zera, mengusap puncak kepala anaknya penuh kasih.
Dina mendekat, menyentuh pipi Zefran yang gembul dengan lembut. "Atutu, adekku tersayang kenapa bisa sakit? Semoga cepet sembuh, ya, Sayang."
Zefran hanya mengangguk lemah. Zera tersenyum tipis.
"Lo tetap berangkat sekarang, Din?" tanya Zera.
"Iyalah. Tadinya gue mau ngajak lo bareng ke kantor, tapi karena Zefran sakit, ya udah, gue sendiri aja."
"Hehe... Iya, nggak apa-apa, 'kan?"
"Ya nggak apa-apa lah," balas Dina santai. Ia lalu mencondongkan tubuh, mengecup pipi Zefran dengan gemas. "Babay, Sayang! Cepet sembuh!"
Zefran hanya menggumam pelan, pasrah dengan ulah tantenya.
Zera tersenyum kecil. "Hati-hati, Din!"
"IYA!" sahut Dina riang, sebelum akhirnya menghilang dari kamar.
Zera menatap putranya yang masih terbaring lemah. Tangannya perlahan membelai rambut bocah itu, hatinya penuh tanya.
Kenapa Zefran terus mengigau nama Zero?
Apa yang sebenarnya terjadi di antara mereka berdua?
Dan yang lebih penting... Apa yang harus ia lakukan sekarang?

KAMU SEDANG MEMBACA
My Husband Is Ridiculous [TERBIT]
RomanceDijodohin sama tetangga sendiri? Dijodohin sama musuh sendiri? Dijodohin saat masih dalam kandungan? Bisa kalian bayangkan, bagaimana nasib Zera yang harus menikah dengan musuhnya sendiri yang bernama Zero - lelaki konyol yang pernah Zera temui di d...