Aira menghela napas. Memainkan handphone di genggamannya. Iseng-iseng meng-unlock-nya lagi, entah sudah keberapa. Membuka aplikasi Line. Lagi-lagi tidak ada notif. Aira menghela napas lagi. Bosan. Amat bosan.
Aira akhirnya membuka contact list. Men-scroll terus-terusan sampai ke bawah. Tapi, belum sampai paling bawah, mata Aira tertumbuk saat melihat satu contact lewat di depan matanya.
Itu contact-nya.
Memori itu melanda lagi. Benar-benar menusuk benaknya. Aira tergugu. Dia mulai menangis lagi.
Aira masih sangat ingat.
"Ra, tolong, kamu save contact dia selamanya. Bukan buat apa-apa, cuma buat kenangan. Aku udah bilang ke dia, suruh dia save contact kamu selamanya. Kamu janji ya?"
Aira tersenyum kecut.
Cuma buat kenangan.
Hanya untuk kenangan.
Tapi, tidak berarti apa-apa lagi kan? Aira tak akan bisa menghubunginya lagi, apalah yang akan terjadi kalau tiba-tiba dia mengirim sapaan lagi pada orang itu. Ya, contact itu hanya untuk kenangan, kenangan pahit, jauh lebih baik Aira tidak punya saja sekalian contactnya lagi.
Itu hanya membuka luka masa lalu.
Dendam masa lalu.
Tapi Aira sudah berjanji.
Oh ya, Aira lupa. Untuk apa berjanji pada sahabat yang sudah—mengkhianatinya?
Tapi, dalam hati Aira,
Aira tak akan tega menghapus satu-satunya sisa kenangan pahitnya dulu itu.
—AaaA—
"Tuh, Aira, cowok paling eksis seangkatan gara-gara punya band sendiri," Sacha melirik siluet seorang laki-laki yang sedang berjalan di atas panggung, berbicara, memakai kostum hijau tokoh dongeng Peterpan. Topi Peterpan-nya bergoyang sesaat saat dia tiba-tiba melompat ke balik properti semak di atas panggung.
"Gue tahu. Katanya banyak yang suka sama dia ya?" tanya Aira, memainkan pulpen.
"Yeah. Bahkan, itu yang meranin Wendy aja naksir sama dia. Beruntung banget tuh dia jadi Wendy-nya si Peterpan," tukas Sacha. Aira melirik seorang perempuan yang menjadi Wendy. Wajah si cewek merona, dan dia melonjak setiap kali cowok itu mengucapkan dialognya pada si cewek.
Aira mendengus. "Ck, disgusting," komentarnya sadis.
"Tapi, emang maklum sih. Dia punya banyak modal. Ganteng, pinter, alim, baik lagi. Apalagi dia famous.Siapa sih cewek yang gak kelojotan sama cowok macam itu?"
"Aduh, lo jangan-jangan suka sama dia Cha," sindirku.
"Astaghfirullah no. Cinta gue sehidup semati cuma buat Gerald!" seru Sacha gemas. Aira tertawa.
"Eh, gue mikir Ra, Ferli pasti kenal sama lo. Lo kan pemes. Lo pinter, cantik, dan lo berbakat di segala bidang. Gue sampe kesel, lo merambah ke segala bidang dan berhasil lo tekuni dengan baik! Lo ikut les manga jago, ikut lomba speech English jago, ikut padus sekolah jago, udah mana pelajaran juga lo jago. Gue sampe sedih nyari-nyari weakness lo gak ketemu-ketemu," Sacha memajukan bibir bawahnya.
"Shut up. Kita lagi nonton pentas drama, jadi gak seharusnya kita ngerumpiin hal gak jelas!"
Sacha tersenyum miring. "Yakin lo ga bakal tertarik juga sama cowok itu?"
Aira menatapnya mengernyit. "You wish and, big no."
Aira tak pernah tahu bahwa pernyataan itu salah besar.
KAMU SEDANG MEMBACA
You
Teen FictionDekat dengannya bagai badai petir besar dalam hidupku. Mengenalnya bagai mimpi buruk panjang yang tak terselesaikan. Merindukannya membuat dada sesak dengan berbagai kenangan—terlepas kenangan indah atau pahit. Memikirkannya bagai gelombang tsunami...