Prolog

4 1 0
                                    

"Yang merasa tidak memakai atribut lengkap silahkan berdiri di tengah lapangan sekarang juga!" Pak Khaidir selaku pembina upacara memberi perintah kepada seluruh murid SMA Binusatya Mahardika sebelum membubarkan barisan.

Beberapa murid yang merasa tersindir menggerutu kesal dan langsung siaga satu meminjam atribut teman-temannya agar tidak ketahuan. Seperti halnya yang terjadi pada barisan kelas X IPA 4. Seorang gadis bertubuh mungil dengan poni tipisnya yang khas, sudah mencak-mencak ditempatnya. Kepanikannya bertambah ketika melihat Pak Seno yang bernotabe sebagai Penegak Kedisiplinan mulai mendekat.

"Ray, pinjam bentar doooong! Cepetannn! Plissss, gue takut banget, Raaaay!" Nala merengek sambil menarik-narik pergelangan tangan Raya, teman disebelahnya.

"Nggak bisa ege! Lo tau kan gue anggota OSIS? Sekali melanggar peraturan, poin gue bisa dikurangi," sahut Raya berusaha melepaskan tarikan Nala di pergelangannya.

Mendengar hal itu, ketakutan Nala semakin menjadi. "Plisss, Raaay! Cuma lo doang yang almameternya seukuran gueeee! Anggota OSIS bukannya tiap hari senin pakai almameter OSIS ya? Terus ikut patroli bareng Penegak Kedisiplinan ya? Nggak usah ngibul deh, lo. Tolong gue, Ray. Kali ini aja," katanya mengacungkan dua jari membentuk peace. Sekolah mereka memberi aturan wajib memakai almameter saat hari senin. Dan sialnya, Nala lupa membawa almameternya.

"Ini kenapa ribut-ribut? Eh, lo kenapa Nal? Muka lo pucet gitu. Lo sakit?" Gentala-ketua kelas mereka menghampiri. Sengaja membungkukkan badannya untuk menyeimbangkan tingginya dengan Nala. Tangan kanannya mendarat di dahi gadis mungil itu. "Dingin. Lo gemeteran. Ke UKS mau?" Tawarnya pelan.

"Gemeteran? Kebelet boker kali," celetuk Akbar-wakil ketua kelas Nala. Gentala tidak menghiraukannya. Cowok itu sibuk memeriksa keadaan Nala.

Gadis mungil itu menggeleng, "gue lupa bawa almamater," jawabnya hampir menangis.

"Pake almamater gue aja." Gentala berujar tenang sambil melepaskan almameternya.

Nala langsung menolak, "nggak bisa, Genta. Pak Seno bakalan tau itu bukan almamater gue. Soalnya ada bet namanya."

"Ya mau gimana lagi, Nal. Mau nggak mau lo kena hukum juga." Perkataan Akbar membuatnya semakin takut.

"Nal, Nal, Pak Seno dateng."

"Aissssh, gimana iniiii. Gue takut sumpah. Ray, Fin, Hera, bantuuuiiinnn," rengekannya bertambah dan Nala berusaha menyembunyikan tubuh kecilnya di balik tubuh teman-temannya. "Tutupin gueee."

Nala lupa kalau teman sekelasnya minus akhlak dan minim solidaritas. Hingga, kesialan terjadi tanpa diundang.

"Pak, Pak, itu Nala nggak pake almet!"

Pak Seno menoleh dan langsung menghampiri barisan mereka. Nala kehilangan akal sangking takutnya reflek berlari meninggalkan lapangan. Nala berlari sekencang mungkin. Tubuhnya sudah terhitung beberapa kali menubruk orang dan hal itu sama sekali tidak dia hiraukan. Bunyi peluit menggema, saat Pak Seno kehabisan nafas berusaha memanggil namanya untuk menghentikan aksi ajaibnya.

Bodohnya Nala, ia menjadi pusat perhatian.

Kakinya terus berlari. Tidak peduli tatapan aneh orang-orang. Saat ini tujuan Nala hanya satu, menghindari Pak Seno. Sampai ketika dirinya berhenti di depan pintu sebuah ruangan yang tidak diketahui, Nala terjatuh akibat tersandung anak tangga. Sakitnya tidak seberapa, tapi malunya luar biasa.

Tepat dihadapannya, gerombolan murid laki-laki yang dia ketahui adalah kakak kelasnya berdiri membentuk lingkaran kecil. Diantaranya ada yang memegang sebuah map, gitar, dan stick drum. Nala melongo. Menatap satu persatu wajah mereka. Satu kata di benak Nala. Tampan. Mereka sangat tampan!

Jika di deskripsikan, cowok-cowok dihadapan Nala seperti karakter komik yang sering dia baca pada sebuah aplikasi. Tapi, Nala terlalu sibuk hanyut dalam pesona mereka sehingga dia tak sadar bahwa dirinya berada dalam zona bahaya.

Mereka tertawa.

Tertawa di atas penderitaan Nala.

Wajah Nala memerah. Matanya tertutup sambil memaki dirinya dalam hati. Dia berusaha bangkit. Rasanya Nala ingin sekali cepat-cepat pergi dari sana. Namun, lututnya yang terluka membuat tubuhnya tidak bisa menjaga keseimbangan. Mau tak mau, Nala memilih membalikkan badannya dan melangkah untuk turun sambil berpegangan pada penyangga anak tangga. Pasrah. Langkah Nala tertatih. Kakinya terseok-seok.

Di pertengahan tangga, luka di lututnya terasa nyeri. Sehingga gadis itu memilih berhenti. Dia terduduk, menatap perih pada lututnya yang mulai membiru. Nala hampir menangis. Air matanya bisa saja keluar jika dia berkedip. Senin yang buruk. Nala benci hari ini. Sejarah kesialan yang pertama kali dia rasakan seumur hidupnya.

Sampai... seseorang mengulurkan tangannya. Telinganya tak sengaja mendengar suara bariton yang terkesan berat dan mengintimidasi. Serta aura dingin sekaligus hangat dirasa, membuat getaran aneh muncul dalam diri Nala. Entah lah, Nala merasakan perasaan yang berbeda. Entah itu terkejut atau bingung. Kepala Nala berputar ke belakang. Disana, sosok cowok berdiri tegak. Kedua tangan kekar nya bersembunyi di saku celana abu-abunya. Walaupun begitu, urat-urat di pergelangan tangannya menonjol tanpa izin. Bentuk badan atletisnya tidak bisa bohong walaupun ditutupi oleh seragam yang sengaja di dibuat kebesaran. Raut muka yang datar. Ekspresi cuek natural. Serta tatapan tajam yang mampu membuat siapa saja terpaku melihatnya.

"Perlu bantuan?"

Nala terhenyak. Seperti ada efek slowmotion yang ikut membawakan suasana, membuat dirinya hampir kehabisan oksigen untuk bernafas. Jantungnya berdetak tak karuan. Mata elang itu berhasil menghipnotisnya dalam sekejap.

Beberapa detik yang berharga. Sejak saat itu kisahnya dimulai.

***

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 30, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

LengkaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang