"Mom, Mommy, bangun!" Suara kecil Xavier langsung menyentak Ruby bangun.
Tatapan Ruby menjadi gelap ketika memikirkan mimpinya. Ia telah hanyut dalam kegelapan untuk waktu yang lama. Ia bahkan tidak bisa mengingat kapan terakhir kali ia memimpikan peristiwa-peristiwa itu. Namun ia memimpikan orang itu lagi. Kenapa sekarang?
Ruby mengedipkan mata dan menemukan bahwa ia tidak terbaring di ranjang rumah sakit, melainkan di kursi pesawat. Tidak ada darah. Kakinya tidak patah. Dan yang terpenting ia masih hidup. Ia tidak mati dan semua itu hanya mimpi.
Ruby diam untuk waktu yang lama. Ia memikirkan banyak hal dan saat menyentuh wajahnya, ia merasakan basah di sana.
Ia melihat telapak tangannya.
Air?
Apa ia menangis?
Ia bertanya-tanya, namun sebanyak apapun ia bertanya, jawabannya masih sama. Ya, sepertinya begitu. Tidak. Ia memang menangis.
Saat Ruby mendongak, tatapannya bertemu dengan mata jernih seorang bocah tampan yang berdiri menatapnya.
"Mom, kenapa kau menangis?" Xavier mengulurkan sapu tangannya kepada Ruby. Sapu tangan dengan inisial XD yang dirajut dengan benang emas pada salah satu ujungnya itu merupakan sapu tangan yang dibuat khusus untuk Xavier dan tentu saja barang seperti itu tidak boleh diberikan kepada sembarang orang. Namun sebenarnya ia memberikannya kepada Ruby. Sudah jelas status apa yang dimiliki Ruby di hidupnya. Wanita itu cukup penting, tidak, sangat penting. "Apa kau baik-baik saja?" Suara kecilnya terdengar sangat khawatir.
Ruby menerima saputangan itu dan menyeka air mata yang menodai wajahnya. "Aku.." Ruby berhenti sejenak. Tatapannya penuh keraguan. Setelah beberapa pemikiran, ia memilih untuk mengabaikan pertanyaan pertama Xavier. "Aku baik-baik saja, Xavier."
Sebelah alis Xavier terangkat. "Kau yakin?"
Ruby mengangguk. "Tentu," jawabnya. "Omong-omong, dimana Adikmu?" Rubi mengalihkan pembicaraan dengan cepat.
"Dia tidur di kursinya," jawab Xavier sembari melirik Sean yang tertidur pulas di kursinya. Bocah kecil berusia sepuluh tahun itu mengerti jika Ruby enggan menjawab pertanyaannya. Bukan hal baru dan Xavier tidak terkejut lagi. Namun ia selalu tidak mengerti apa alasannya. Ia berpikir, apa itu tentang Ayah, lagi?
Tahu apa yang Xavier pikirkan, Ruby membelai wajah tampan bocah itu. "Jangan berpikir terlalu banyak, Xavier. Aku tidak sedang memikirkan Daddymu. Kau tahu, kau dan aku, kita semua, baik-baik saja meski tanpa dia." Tatapannya hangat, penuh perhatian. Terlepas dari apakah yang ia ucapkan jujur atau tidak, kenyataannya hidup mereka baik-baik saja meski tanpa Osvaldo.
Bohong. Batin Xavier. Ruby selalu seperti itu. Lebih tepatnya setelah Ayah meninggal tiga tahun lalu. Setelah kepergian Ayah, Ruby berubah sangat banyak. Meski ia tahu semua yang Rubi lakukan demi dirinya, namun ia sudah sepuluh tahun, ia bukan anak kecil lagi. Mau sebanyak apapun Ruby membohonginya, ia tidak akan tertipu.
Melihat ekspresi Xavier, Ruby tahu persis isi pikirannya, namun ia tidak berniat menjelaskannya. Ia membawa bocah tampan itu ke dalam pelukannya. "Xavier, jangan berpikir terlalu banyak. Jaga dan lindungi adikmu dengan baik. Pesawat akan segera mendarat. Kami akan berpisah di sini. Mereka akan membawamu dan Adikmu ke rumah. Kau mengerti?" Tangannya mengusap kepala Xavier, berharap Xavier bisa mengerti tentang segala hal yang tidak bisa ia ucapkan.
Ruby tahu Xavier sudah besar. Dengan kecerdasan Xavier, mustahil membohongi anak itu lagi. Namun Ruby tidak ingin Xavier mengalami mimpi buruk seperti yang ia rasakan setiap kali memejamkan mata.
Kehilangan seseorang yang berharga, rasanya menyesakkan dada. Semua rasa sakit itu mencekik hingga hampir membunuhnya, hampir membuatnya mati.
Mati?
Kedengarannya cukup menarik.
Namun sayang, kematian tidak mungkin bagi dirinya yang sangat menghargai kehidupan. Meski bisa saja ia membuat kematiannya sendiri, meski ia bisa saja memilih pilihan itu, tetapi ia memilih untuk tidak melakukannya. Memikirkannya, mungkin. Namun melakukannya, tidak.
Kenapa?
Sederhana, suaminya sudah tiada, jika ia mati menyusulnya, siapa yang akan menjaga Xavier dan Sean?
Banyak harta yang ditinggalkan oleh suaminya, namun dari semuanya, harta paling berharga yang harus ia jaga dan lindungi hanyalah anak-anak.
Xavier mengangguk. "Aku mengerti, Mom." Ia tidak banyak bertanya. Bukan karena ia tidak ingin tahu, namun karena ia sudah mengetahui segalanya bahkan tanpa Ruby menjelaskannya.
Ruby melonggarkan pelukannya. "Bagus, Xavier. Sekarang kembali ke tempat dudukmu!"
Xavier kembali ke tempat duduknya dengan patuh.
Ruby menghela nafas panjang. "Lily." Kemudian Ruby memanggil sekretarisnya. Melihat Lily sudah berdiri di sampingnya, ia bertanya, "Kapan kita sampai?"
"Dalam satu jam. Saat ini waktu siang di London. Saya sudah mengatur semuanya. Akan ada mobil yang menunggu kita. Mereka akan membawa Tuan Muda ke rumah. Saya yakin tidak ada yang akan tahu kedatangan Anda," kata Lily. Untuk beberapa alasan, Ruby menekankan pentingnya merahasiakan kedatangannya dari semua orang.
Ruby tidak menanggapi kata-kata sekretarisnya. Ia memejamkan mata saat ingatan tentang hari yang mengerikan itu kembali padanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mantan Suamiku Kembali Tergila-gila Padaku
RomanceRuby baru merasakan indahnya pernikahan dikala menjalani pernikahannya yang kedua. Sayang, sang suami yang dicintainya meninggal. Keterpurukan itu belum cukup usai karena mantan suami pertamanya yang seorang CEO tampan itu mengetahui keberadaan diri...