02

129 11 4
                                    

Gimana pendapat kalian tentang cerita ini? Seru atau membosankan? Aku mutusin buat rombak ulang huhuhu

Gimana pendapat kalian tentang cerita ini? Seru atau membosankan? Aku mutusin buat rombak ulang huhuhu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***

Kupandangi cercah mata kecoklatan yang memandang penuh kekaguman. Bibir kecil yang menyunggingkan senyum bahagia. Aku hanya mampu diam termangu mendengarnya. Jemariku yang ringkih menyuapkan makanan kedalam mulut sembari pikiran yang melalang buana entah kemana.

Semenjak cerita itu, aku mulai memperhatikan sosok Kaisar. Derap kakinya yang teramat santai dengan postur tubuh menawan ditambah sifat yang nakal membuat beberapa gadis hilir mudik berganti disekelilingnya. Meski tak nyaman, aku tak tahu berapa lama aku memperhatikan sosoknya.

Apa yang membuat sosok seperti ini menyalakan pedar mata yang indah bagi orang yang menceritakannya? Kulihat pemuda itu tengah asik tertawa dipangkuan Salsa si gadis populer di kelasku. Gadis itu juga nampak nyaman dengan posisinya sembari tersenyum menawan memandang Kaisar.

"Lo kayanya mulai akrab sama Kaisar ya?" Tanyaku pada Tina yang membuat gadis itu terhenyak dan kembali bercerita. Memang tidak begitu dekat, namun aku tahu beberapa kali kujumpai pemuda itu menyapa Tina dengan akrab.

"Eh iya, jadi ceritanya Kaisar nelfon gue malam-malam dia cerita panjang lebar. Disitu dia pengin berubah kaya gue. Dan gue mau bantuin Kaisar buat berubah." Ucap Tina selalu nampak bersemangat bila bercerita tentang pemuda itu.

"Berubah maksudnya?" Heranku sembari menukikkan alis.

"Jadi sebenarnya, gue itu cewek yang nakal. Waktu SMP gue salah pergaulan. Gue pernah mabuk-mabukan, masuk penjara, dan gue sebenernya juga pernah natto di lengan dulu gue bucin banget. Sampai gue pengin lepas dari dunia itu dan akhirnya gue bisa. Sekarang gue pengin ngarahin Kaisar ke jalan yang bener." Ucap Tina membuatku syok bukan main.

Lengan gadis itu perlahan tersingkap memperlihatkan sebuah ukiran nama berbekas. Gadis itu tersenyum getir bercerita sembari mengingat memori kelamnya. Jelanga yang menodai lembaran hidup Tina. Aku tidak ingin menjauhinya. Bukan maksudku menjadi sok suci dan paling benar. Mendengar cerita itu, relung hatiku juga ikut tergerak. Memandangi lengannya yang perlahan ditutup seragam. Masih membatu tak tahu dengan reaksi apa yang aku katakan padanya.

"Jangan ceritain ini kesiapa-siapa ya." Pinta Tina sembari melanjutkan kisah hidupnya.

Ternyata Tina ingin berteman denganku untuk menjagaku agar diriku tidak mengulangi kesalahan yang sama. Terlebih ia tahu sosokku seperti apa. Selembar kain putih yang mudah lusuh. Gadis itu tertawa mengatakan bahwa ia pikir aku adalah gadis yang pendiam dan membosankan. Aku hanya menarik senyuman simpul, nyatanya kelakuanku juga tak jauh berbeda. Serampangan dan petetang-petenteng bila sudah dekat dan nyaman dengan seseorang.

Aku lega Tina bisa menceritakan semua kisah hidupnya padaku. Meskipun awalnya rasa kesal bercampur aduk mendengar gadis itu lebih dulu menceritakannya pada Kaisar dibanding diriku. Gelabah menyadari Kaisar adalah sosok baru yang berteman dengan Tina namun sudah diberi kepercayaan lebih dulu dibanding diriku. Tina hanyalah anak terakhir yang menjadi korban ketidakstabilan perekonomian keluarga. Yang menjadi sosok paling mengalah untuk kakak-kakaknya dan tentu tidak mudah menjalani posisinya.

"Lo masih mau temenan sama gue kan?" Tanyanya membuatku tersenyum simpul.

"Ya iyalah. Kenapa engga? Setelah denger cerita lo, gue berpikir buat ngebantu dia berubah juga. Gue tahu ngerubah orang itu susah. Apalagi kalau sendiri." Ucapku sembari mencari sosok Kaisar.

Menemukan sosoknya yang tak pernah menghiraukan komentar disekelilingnya. Seutas senyum tersungging tanpa kusadari.

"Gue pikir dia cowok nakal." Gumamku masih terdengar ditelinga Tina.

"Dia baik loh, jangan ngejudge orang dari covernya." Ucap Tina membuatku terdiam.

Tergamang dengan perkataannya yang merebak masuk ke ulu hatiku. Apa selama ini aku selalu salah menilai Kaisar? Aku pikir memang dia pemuda yang problematik dan harus aku hindari. Namun dilain sisi, aku menyadari ternyata pemuda itu tersesat dan ingin berjalan di jalan yang benar. Pemuda itu ingin kesempatan untuk berubah menjadi sosok yang lebih baik. Kuputuskan mulai hari ini untuk membantu Tina mengarahkan pemuda itu. Meskipun aku sendiri juga bingung bagaimana cara merubah sosok itu. Hingga waktu sekolah berjalan begitu singkat.

"Gimana sekolah barunya kak?" Tanya seorang gadis menyadarkanku.

"Heum, ya begitu deh." Ucapku sembari membuka pembungkus permen karet.

Menatap tumpukan kitab yang berserakan didepan meja. Selain sekolah formal, aku diwajibkan untuk menganyam sekolah di pesantren. Jadwalku yang padat dan teratur membuatku sulit untuk keluar jalan-jalan seperti gadis pada umumnya. Benar kata Tina kalau aku adalah gadis yang membosankan. Sudah hampir tiga tahun lamanya menuntut ilmu di Pesantren. Hal ini juga membuatku tak banyak berinteraksi dengan orang-orang.

"Gimana di sekolah? Udah kenal sama Daffa kan?" Tanya seorang gadis yang juga menjadi kakak kelasku disekolah formal.

"Udah. Ganteng tapi banyak fansnya males." Ucapku sembari memusatkan pandangan pada tulisan arab.

"Katanya kak Mia naksir teman ketua OSIS lho, kak Sherin kenal orangnya gak?" Celetuk ringan membuat bilur goresan tintaku terhenti.

"Ketua OSIS?" Ucapku sembari mengingat sosok pemuda yang tegap nan manis bernama Fadel.

Oh iya, pemuda itu sempat membuat Tina kagum dan aku pernah dimintai tolong Tina untuk bisa mewawancarai kak Fadel. Karena Tina malu, padahal dia anggota jurnalis sekolah membuatku mau tidak mau menyampaikan niatnya langsung pada kak Fadel.

"Kak Mia suka sama kak Fadel?" Tanyaku heran menatap gadis lembut disampingku. Lebih terkejut lagi gadis itu tersipu malu mengalihkan pandangannya.

"Wah aku jadi penasaran rasanya satu sekolah sama kalian." Ucap sosok gadis yang perawakannya lebih tinggi dariku. Abidah, sosok putri pertama Kyai di Pesantren ini. Umurnya dibawahku tepat satu tahun. Seharusnya kami memanggilnya dengan Ning, namun gadis rendah hati itu hanya ingin dipanggil nama agar tidak ada ruang sekat diantara persahabatan kami.

Meskipun kebebasanku dibatasi, namun tidak lebih terbatas dibanding Abidah yang hanya bisa menganyam pendidikan homeschooling. Dengan latar teman yang berbeda, aku berusaha menempatkan diriku dengan mereka.

Rutinitas sekolah dari pagi hingga siang kemudian berlangsung dari malam membuatku penat. Semilir angin malam yang dingin menusuk kain putihku. Seragam pesantren khas berkibar lembut tertiup angin. Memandangi eloknya kelap-kelip lampu perkotaan membuatku sedikit terhibur.

Memasuki sepetak kamar kecil dan merebahkan diri. Meskipun melelahkan, aku menantikan hari esok. Berharap dengan tidur, semua perasaan lelah akan gata esok harinya.

Not MineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang