Nevermore

21 1 0
                                    


Malam itu hujan deras. Aku buru-buru ke hotel untuk menemuimu. Waktu menunjukan pukul sebelas malam. Ketika kamu biasanya sudah disini. Tapi hari ini berbeda. Rasanya hujan menghalangi langkah kakimu. Maka kuputuskan untuk menunggu. Meninggalkan istriku, Vanessa yang masih di rumah. Padahal sebagai seorang ayah, harusnya aku pulang. Harusnya aku menemui anak bayiku, Mario. Harusnya aku menyantap masakan yang sudah repot repot dibuatkan oleh Vanessa. Namun semua itu tidak kulakukan, demi menunggumu datang.

Lalu pukul sebelas empat lima akhirnya kamu datang. Dengan keadaan basah kuyup. Meskipun biasanya aku akan langsung menciummu, malam ini berbeda. Aku menyuruhmu mandi dulu. Mengeringkan diri lalu meminum teh panas yang sudah kupesan. Dirimu pasti merasakan ada yang berbeda di hari itu. Tapi sebelum mulutmu terbuka untuk bertanya, aku hanya ingin memelukmu erat. Berbisik meminta agar malam ini kita habiskan seperti ini saja.

Disaat itu aku akan mengenang saat pertama kali kita bertemu. Waktu itu aku memang langsung terpanah melihatmu. Padahal itu hari pertama ospek. Yang tentu tidak dilaksanakan di surga, tapi kau membuat diriku merasa seperti melihat seorang malaikat. Akhirnya kita kenalan. Lalu mulai rutin jalan.

Kuakui memang salahku waktu itu. Tidak langsung jujur kepadamu. Yang sering menanyakan kapan diajak ke rumah, padahal aku sudah bertemu dengan orang tuamu. Alih alih, waktu itu aku selalu beralasan agar tunggu sekalian tunangan saja. Dan aku sadar itu momen pertama kali aku mengkhianati kepercayaanmu. Dari tingkahmu, nampaknya kau percaya dengan kata-kata itu.

Sampai akhirnya kau kuperkenalkan kepada ibu. Yang senyumnya langsung pudar ketika melihat kalung salibmu. Aku tau kamu terluka, tapi yang keluar dari mulutmu adalah tidak apa-apa dan baik-baik saja. Mau bagaimana lagi, dia ibuku. Satu-satunya orang tua yang kupunya sejak kecil. Dan ibu mungkin tergolong sangat religius. Mungkin kamu terus merahasiakan ini, tapi kakakmu sudah cerita soal kamu yang menangis setelah tau pertunangan kita batal.

Lalu datang Vanessa. Wanita yang dipilih sendiri oleh ibu. Wanita yang saat pertama kulihat, tidak terasa seperti saat pertama melihatmu. Wanita yang harusnya kau benci, bukannya kau bela. Aku sendiri yang berkata kepada Vanessa, kalo jika pernikahan terjadi kemungkinan aku akan menceraikan dia. Anehnya dia tetap yakin untuk maju, tidak seperti yang kuharapkan.

Saat hari pernikahan itu, saat aku mengucap ijab kabul. Saat itulah aku merasa telah mengkhianatimu untuk kedua kalinya. Tetap saja, kamu tetap mau menunggu dan bertahan setelah kuyakinkan akan kuceraikan dia. Padahal kamu bisa saja marah dan mengakhiri hubungan kita. Kemudian waktu berlalu. Hari-hari kujalani dengan kalian. Siang bersama Vanessa, malam bersamamu.

Kendatipun aku lebih bersemangat ketika malam tiba. Lebih dari siapapun. Lebih dari batman yang siap beraksi. Lalu lahirlah Mario. Aku tidak pernah membayangkan menjadi ayah dari anak Vanessa. Yang ada kamu justru memberi ucapan selamat. Bukannya marah. Bukan seperti yang kuduga. Ternyata kamu konsisten dengan sikapmu yang menghentikanku melakukan aborsi.

Tapi dua hari lalu, aku mendengar sesuatu yang luar biasa. Untuk pertama kalinya Mario berbicara. Dua kata yang dia ucapkan adalah mama dan papa.

Disitulah mataku terbuka lebar. Tiba-tiba aku baru menyadari Vanessa. Baru menyadari peran dan pengorbanan yang dia lakukan selama ini. Ketika hamil dia kutinggalkan tiap malam. Tidak pernah protes. Tidak pernah bertanya. Bahkan tidak pernah terlihat curiga. Karena itu, kemarin aku mengajaknya bicara. Mengakui hubungan kita selama ini. Vanessa tidak terkejut. Dia berkata selama dia telah mengandung anaku, maka dia sudah menang darimu.

Dan semua itu yang membuatku berpikir. Kamu, Vanessa, Mario. Yang aku mau hanya agar kalian semua bahagia. Dan aku berpikir kalo tanpa aku, harusnya kamu bisa lebih bahagia dari ini. Seandainya kita tidak bertemu di ospek, seandainya aku tidak mengajakmu ke rumah, seandainya aku bisa menghentikan semua ini sebelum terjadi. Tapi tidak ada waktu untuk menyesal. Yang ada sekarang aku hanya ingin membahagiakan Vanessa dan Mario. Dan aku yakin, seseorang pasti bisa membahagiakanmu. Seseorang yang mungkin lebih baik dariku.

Setidaknya itu semua yang kuharapkan. Itu semua yang ingin kulakukan. Itu semua yang ada di kepalaku sampai subuh. Nyatanya kamu untuk pertama kalinya tidak datang. Aku berpikir mungkin besok waktu yang tepat. Tapi aku salah. Tuhan tidak mengizinkan aku mengakui pengkhianatanku yang ketiga kalinya kepadamu.

Subuh itu saat mau pulang, kakakmu menelepon. Berteriak menangis histeris. Mengabarkan kamu telah tiada. Disitulah aku berpikir. Yang ada di dalam kepalaku hanyalah seandainya. Seandainya aku bisa menyadarinya lebih cepat. Seandainya aku bisa mengambil keputusan lebih awal. Seandainya aku bisa melakukannya satu hari lebih awal.

Semua sudah terlambat. Sama seperti di kepalaku, kamu hanya mendengar pengakuanku. Tidak berbicara, tidak menjawab. Tapi aku tidak pernah menduga, akan melakukannya di depan nisanmu.

NevermoreTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang