Heksa dan Sastra, dua pemuda yang terpuruk dalam cinta mereka yang tidak bisa disatukan.
Norma dan agama yang menjadi penghalang kisah cinta mereka. Lantas, untuk apa mereka jatuh cinta?, kalau mereka sudah tahu jika keduanya tidak bisa bersatu? Sia-sia, 'kan?
Mereka berharap, di kehidupan selanjutnya, mereka dipertemukan sebagai adam dan hawa. Bukan sebagai adam dan adam. Jika mereka sudah menjadi adam dan hawa, lantas bagaimana dengan Tuhan mereka?
Kalau kata Amigdala, Tuhan sebut kita sia-sia.
Apakah Heksa dan Sastra akan melanjutkan dan mempertahankan hubungan mereka? Atau sebaliknya?, mengakhiri semua, dan menunggu hari esok untuk dilahirkan kembali. Dalam wujud adam dan hawa, dengan Tuhan yang sama.
Jika mereka mempertahankan, akan terasa sangat sakit, rasanya seperti menuang cuka diatas luka.
-
"Seandainya norma itu gak ada, pasti kita bisa sama-sama terus, ya, dek?" Ungkap yang lebih tua,
"Iya, seandainya norma itu gak ada. Kita pasti bakal sama-sama terus." Pernyataan yang di lontarkan yang lebih muda, disetujui oleh yang lebih tua.
"Sama-sama terus, ya, dek? Walaupun kita ke jalan yang berbeda." Kata yang lebih tua, Heksa namanya.
"Iya ... Pasti, kak." Balas yang lebih muda, Sastra.
-
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Heeseung Lee, as Muhammad Oktaviano Heksa.
"Seandainya norma itu gak ada, pasti kita bisa sama-sama terus, ya, dek?"
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Sunghoon Park, as Sastraka Dolken Pamungkas.
"Iya, seandainya norma itu gak ada. Kita pasti bakal sama-sama terus."
