Tiba-tiba ada yang melempar tanya, "Kamu pernah jatuh cinta?"
Lekas kujawab, "Sering, bahkan pada orang yang baru kutemui di jalan raya."
"Itu bukan jatuh cinta," sanggahnya.
"Lalu yang bagaimana?"
Butuh waktu cukup lama untuk pertanyaan itu mendapat jawabannya. Namun, aku tetap sabar menunggu. Dia sedang mengetik ....
"Aku juga tidak begitu yakin sebab aku masih awam," akunya. Tetapi tetap melanjutkan, "Mungkin jatuh cinta itu saat kamu terus memikirkannya, terus penasaran akan dirinya bahkan untuk hal-hal kecil seperti; apa yang sedang dilakukannya, bagaimana harinya, apa yang membuat dia tertawa atau menangis hari ini."
"Bagaimana jika saat semua pertanyaan tersebut terjawab, rasa penasaran itu tiba-tiba menghilang? Apa itu berarti sudah tidak jatuh cinta lagi?"
"Mungkin, tapi kebanyakan tidak semudah itu."
"Kebanyakan seperti apa?"
"Menjadi lebih penasaran pada hal-hal yang lebih dalam (?)."
Terdapat tanda tanya di akhir kalimatnya. Dia pun ragu pada dirinya sendiri.
Kusimpan jeda di antara percakapan kami. Ragu untuk melanjutkan sebab sejujurnya topik ini tidak begitu menarik untuk dibicarakan.
Tolong, jangan bahas pasal cinta denganku. Itu terlalu membuang-buang waktu membahas hal yang abstrak yang tidak bisa diukur dengan ilmu pasti, kapan ia akan menghilang atau seberapa lama ia bertahan.
Aku jadi teringat pada argumennya di hari yang lalu, "Kamu memandang cinta dengan pesimis." padahal aku hanya berusaha memandangnya dengan logis.
Baru berpikir untuk membiarkan obrolan berakhir, dia melanjutkan argumennya.
"Saat benar-benar telah jatuh cinta, kamu jadi lebih penasaran secara mendalam akan dirinya; apa kesukaannya, bagaimana keluarganya, bagaimana cara dia memandang dunia, hingga bagaimana kamu terlihat di matanya."
"Lalu setelah itu, bagaimana?"
"Tentu saja, muncul dorongan untuk dekat dengannya agar semua tanya itu terjawab."
"Lalu saat semua tanya itu terjawab, akan bagaimana?"
"Rasa penasaran itu berubah menjadi perasaan membutuhkan."
Kali ini keningku mengerut. Bagaimana bisa?
"Karena tidak semua manusia terlahir sama. Tidak semua manusia memiliki hal yang sama. Dari perbedaan itulah muncul rasa membutuhkan." Dia menjawabnya seolah mampu membaca isi pikiranku lewat layar ponsel.
"Kamu pernah dengar 'kan, kalimat bahwa pasangan itu harus saling melengkapi? Nah, dari mana bisa tahu apa yang dimiliki dan tidak dimiliki oleh masing-masing jika tidak muncul rasa penasaran di antara mereka?"
Penjelasan tersebut membuat semua argumennya menjadi masuk akal.
"Ada banyak tanya yang tidak bisa dijawab oleh sesuatu yang bisa dilihat saja. Kamu butuh rasa penasaran untuk mau mencari jawabannya."
"Baiklah, Tuan yang cerdas. Argumenmu hari ini bisa diterima."
Dia lantas mengirim stiker yang menggambarkan kemenangan, tetapi kemudian, dia menyinggung pertanyaan yang pertama.
Kuberi jeda hingga menit pada jam di layar ponsel berubah sebanyak 3 kali.
"Berdasar pada argumenmu, maka jawabanku adalah ... pernah, karena sekarang pun aku merasa penasaran."
"Pada siapa?"
"Kepada tuan yang bertanya apa aku pernah jatuh cinta."
Percayalah, aku membalas itu dengan penuh canda. Namun, jika dia mengganggapnya serius maka aku siap bertanggung jawab.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kepada Tuan yang Bertanya Apa Aku Pernah Jatuh Cinta
Teen FictionTentang aku dan dia, yang saling berbagi isi kepala di tengah hujan, yang berusaha memaknai arti dari jatuh cinta.