Perpisahan

784 167 74
                                    

Aku sesenggukan meraba situasi di rumahku. Ponselku terus membunyikan notifikasi setelah telpon Zainal yang mengatakan Abah telah berpulang beberapa menit lalu.

Kereta malam terasa sunyi bagiku kendati suara operasi moda ini masih jelas terdengar. Gerbong tempatku duduk hanya berisi sekian orang, tidak membuatku bisa menahan tangis yang makin menjadi.

"Mbak baik-baik saja?" Tanya ibu-ibu dengan putra kecilnya.

"Maaf Bu," aku ingin mengatakan kalimatku dengan cepat. Tapi suaraku terganjal nyeri di tenggorokan yang mendesak dari rongga dada.

Isakanku makin dalam, aku tak lagi kuasa menahan tangis. Tepukan si ibu di punggung membuatku sedikit terhibur.

"Ada yang bisa saya bantu, Bu?" Tanya pramugara pada si ibu yang tak ku kenal. Kugigit bibirku sendu, mataku sudah tidak berfungsi dengan baik karena banyaknya air mata yang meluruh.

"Si Eneng ini tiba-tiba nangis. Mungkin dapat kabar buruk." Jawab Si Ibu. Mungkin dia melihat ponselku atau dia hanya asal menebak situasiku.

Aku berusaha keras mengendalikan diri. Mengambil suara dengan susah payah agar orang-orang ini tidak salah paham.

"Abahku meninggal dunia beberapa menit lalu," ucapku dengan urat leher yang seakan terputus demi bisa bicara. Suara yang keluar pun terbata. Usahaku sangat keras saat mengatakan ini.

"Innalillahi, Mbak. Kami turut berduka." Pramugara menatapku prihatin. Tapi itu tidak cukup membuatku lebih baik.

"Sabar Neng, sabar...!" Si Ibu juga bernada sama, iba padaku yang tidak hobi lagi berbusana compang-camping seperti dulu. Aku juga berhenti merokok dan beralih pada cemilan apabila mulutku asam atau menyedot liquid vape tanpa nikotin jika sangat ingin. Karenanya berat badanku sekarang juga lebih proposional. Tidak lagi sekurus dulu.

Aku Siti Kalisha Ramadhani, sudah tidak lagi sebandel dulu. Hobi geludku juga sudah teralihkan pada samsak dan olahraga tinju bebas seminggu sekali. Yoga rutin membuat emosiku terlendali. Meskipun menurutku aku tidak banyak berubah. Hanya kini lebih pandai mengendalikan emosi diri, apalagi tutur kata.

Jangan tanya kabar Pak Ken alias Kenneth. Aku tidak tahu dan tidak pernah lagi ingin tahu setelah pertunangan kami benar-benar kandas. Perbedaan kami terlalu drastis. Rakyat jelata sepertiku, penikmat kebebasan, berorientasi ketenangan jiwa raga, tentu tidak sejalan dengannya dan keluarganya yang konglomerat penuh intrik. Di mana segala sesuatunya diukur dari untung rugi. Satu lagi yang kuyakini, Pak Ken tidak benar-benar mencintaiku.

Dua tahun hampir tiga tahun ini aku menepi. Meninggalkan Jakarta, Caffea dan segala kerumitannya, serta circleku yang selalu kubanggakan. Kali ini karena Empok Leha alias Enyak tiriku mengatakan Abah kena serangan jantung. Aku mau pulang, tapi rupanya aku terlambat. Abah sudah tidak mampu untuk sekedar menunggu kepulanganku. Andai aku mendapatkan tiket pesawat, mungkin aku masih bisa menemui Abah.

***

"Kalis, ayo pulang."

Suara serak Enyak akibat terlalu banyak menangis menarikku dari lamunan. Matahari sudah tinggi, para pelayat juga sudah pergi sejak sepuluh menit lalu.

Sedikit kliyengan aku berdiri. Zainal sigap menggandeng lenganku. Mengabaikan putranya yang ingin minta gendong, yang berada di pelukan Fara.

Aku menghela nafas. Terlalu banyak yang kulewatkan setelah kegagalanku dengan Pak Ken. Aku yang tidak pernah menye-menye, bersembunyi ke kota lain yang jauh dari hingar bingar Jakarta dan Caffea. Blitar, kota ke dua penghasil kakao terbesar di Jawa Timur itu menjadi kota pelipurku.

"Elo kuat Kal, jalan ke depan?" Tanya Fara yang sepertinya khawatir padaku yang mengangguk.

"Nal, pinjemin motor penjual bunga dong. Kasian Kalis."

"Iya deh!" Zainal melepaskan lenganku. Namun aku mencegah niat Zainal.

"Enggak usah, gue enggak apa-apa." Kurasa aku baik-baik saja. Hanya kurang tidur sebab setelah tengah malam sampai rumah, aku hanya melakukan bakti dengan mengaji untuk Abah sampai subuh datang.

"Nyak, Kalis lapar..."

Tidak aku tidak lapar, aku hanya tak tega pada perempuan yang tiga tahun ini mendampingi Abah hanya mampu membisu sepanjang jalan keluar dari area pemakaman.

"Nanti Nyak panasin rendang jengkol ye, Kal. Kemarin tumbenan Abah elu minta dibikin itu. Requestnya mau sama daging."

Aku mengangguk, merapal doa supaya tangis Si Enyak tidak pecah. Maksudku, aku ingin kesedihan wanita itu sedikit teralihkan. Namun rupanya pertanyaaku justru membuatnya kacau.

"Abah elu bilang, makan jengkol pake daging, bisa mengobati kangennya ame elu. Uhuuuu."

Tangis Enyak pecah. Aku pun mendekat, memeluknya dan tertular tangis.

"Gih, elu duluan deh Nal. Ambil mobil. Bawa dia juga, Nal." Fara membuat kalimat perintah sembari menyerahkan putra batita mereka.

"Iya deh, Hon." Sahut Zainal.

"Jangan nangis lagi dong kalian. Ayo jalan lagi. Di rumah pasti banyak tamu sekarang, Nyak." Ingat Fara pada ibu mertuanya.

Suara Mpok Leha menyahut bergetar. Dia merangkulku agar berjalan dengan menumpu padanya.

"Maapin Enyak, Kal. Kagak bisa jaga Abah elu. Aye nggak nyangka, die ninggalin kite secepat ini. Sabar ye, elu. Elu tetep anak Enyak. Jangan merasa sebatang kara, Zainal tetep abang elu."

Ucapan Mpok Leha sungguh melegakan, tapi aku masih ingin terus meratapi Abah. Sampai aku lelah dan sakit hatiku berpisah dengan Abah habis, bersama air mata yang mengering.

Kaki lelah kami membawa pada mobil Abah yang oleh Zainal benar-benar diletakkan di depan gerbang pemakaman. Aku jadi orang pertama yang masuk ke kabin, namun mataku tak sengaja menemukan keberadaan pria yang telah ku hindari mati-matian.

Pak Ken berdiri di seberang jalan dengan set hitam-hitamnya. Mata kami bertemu dalam hitungan per sekian detik.

Tak ingin ku gubris, tak ingin hatiku kembali kacau, aku pura-pura tidak tahu. Aku bertahan tidak penasaran, tidak akan menolehkan kepala, atau sekedar melirik untuk menemukannya. Keputusanku beberapa tahun silam sudah mantap. Mengapa hari ini harus terganggu dengan kehadirannya di makam ini?

"Kenneth," bisik Fara pada Zainal. Wanita itu reflek membuang mata saat lirikannya tak sengaja bertabrakan denganku.

"Kalis, Abah elu meninggalin beberapa catetan. Ingetin Enyak segera setelah sampai rumah, ya."

Enyak menepuk-nepuk punggung tanganku. Aku tahu, dia hanya berusaha mengalihkan perhatianku dari keberadaan Kenneth dan bisikan menantunya pada Zainal.

"Ya, Nyak." Sahutku singkat. Aku enggan menanggapi pembicaraan apa pun dari mereka karena memandang jalanan terasa lebih baik bagiku.

Ingatanku tentang Abah yang suka memanggil Pak Ken dengan sebutan Kennedy memutar di kepala. Beruntung, kami telah sampai rumah lagi, sebab jarak pemakaman hanya tiga menit.

"Istirahat sana, Kal. Biar Enyak yang nemuin tamu." Ucap Enyak yang lupa kalau mau memanaskan jengkol untukku.

"Iya, Nyak." Jawabku singkat sebelum melangkah masuk rumah lewat sisi samping di mana hanya ada para tetangga dan kerabat yang sudah kutemui sejak semalam.

Aku lelah jiwa raga. Tubuhku kecapekan setelah menempuh perjalanan panjang. Aku juga belum memejamkan mata barang sejenak, sejak hari kemarin. Tapi mataku terasa susah memejam.

Kenangan Abah masih menjejali mata. Berganti dengan memori kisah lama antara aku dan pria yang sepertinya hidup dengan baik setelah berpisah denganku.

Kabarnya Pak Ken sudah menikah. Entahlah, aku tidak tahu pasti. Yang jelas, dia terlihat sama seperti terakhir kali kami berpisah jalan.

'Aku benci kamu Kala.' Begitulah ucapannya yang kudengar terakhir sebelum aku melangkah menjauh.

Kalimat yang membuatku bisa membuka lembaran baru dengan menutup lembaran lama. Termasuk menutup media sosial dan mengganti nomor ponsel. Memblokir Jakarta dan Caffea dari hidupku selamanya.

_____

Niatku one shoot saja 😅😅
Tiba-tiba ingat Kalis sama Kenneth
Aku hanya mengetik apa yang muncul di kepala, jangan sedih apalagi marah sebab endingnya sedih😆

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 25, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Tentang KehilanganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang