Mi Amor

3 1 0
                                    

Berapa purnama yang telah di lewati? Entalah, bahkan Joel pun tak mampu menjawabnya

Setelah sekian lama, sekian radius jauh dari rumahnya, untuk pertama kali akhirnya Joel pun pulang. Memberi semangat pada diri untuk berani melawan rasa takut yang menggerogoti ia bertahun tahun lamanya.

Membuat ia terlihat seperti pecundang yang tidak mau kembali pada kampung halaman, karena ia tidak dapat menjadi apa apa di perantauan

Bandung masih sama. Begitu cantik, seperti sepasang mata lentik yang kerap ia tatap akan penuh kasih sayang pada hari hari sebelumnya. Sepasang manik mata hazel yang pernah menatapnya dengan tatapan polos, di atas halte sore itu. Ketika mereka berteduh setelah hujan mengguyur tubuh mereka.

"Joel, cantik sekali ya mereka di atas sana?"

Meskipun setelah sekian purnama yang di lewati, suara itu masih terdengar sama di dalam kepala Joel. Tuturnya yang lembut, selembut surainya. Akan tetapi, tetap tegas secara bersama. Jari lentik menunjuk, mengarah pada gerombolan banyak burung yang mulai berterbangan untuk pulang ke sangkar.

Joel hanya bisa mengangguk, sembari mengelus akan penuh cinta pada surai coklat tua yang sudah basah terkena air hujan. Tapi hati Joel enggan berkata tidak. Memang burung burung itu sangat cantik, tapi tetap lebih cantik sosok yang ada di sampingnya.

"Aku jadi penasaran deh sayang, gimana ya rasanya jadi burung, terus bisa terbang bebas di atas langit? Pasti seru banget bisa terbang sama teriak teriak a a a a a a gitu ha ha ha ha"

"Kamu kenapa sayangku, ada ada aja deh. Masa mau jadi burung sih?"

"Ya aa gapapa toh sayang, kan enak bisa terbang kemanapun tanpa mikir biaya pesawat, huhhh"

"Iya, iya. Udah jangan di tekuk itu bibirnya, masa burung bibirnya di tekuk?"

"Ih apasihhh, ga usah cubit cubit pipikuu! Sakit tauu"

Obrolan mereka saat itu hanya sederhana. Hanya sebuah imajinasi halus di kala senja datang. Imajinasi bagaimana jikalau mereka di takdirkan menjadi seekor burung yang berterbangan, bukan manusia.

Tapi, seharusnya sedari awal Joel tidak boleh mengangguk setuju dan ikut tertawa bersama si cantik.

Tidak boleh, seharusnya!

mi ángel de amor

Joel menjatuhkan diri, terduduk di depan sebuah gubug kecil yang nampak sepi, namun tetap terlihat rapih. Gubug kecil yang pernah ia singgahi selama beberapa tahun bersama.
Tempat ia pulang, sejauh apapun kakinya melangkah, Rumah.

Joel terbiasa menghabiskan beberapa hari harinya di luar, untuk mencari receh receh agar tetap tersambung kehidupan mereka bedua. Lalu setelah melalang bekerja, ia akan di sambut ketika pulang, oleh Rumahnya.

Dengan senyum yang masih sama, manis. Masih sama seperti saat pertama kali Joel melihatnya.

Sosok itu akan berlari ke arahnya dan memeluknya, dengan masih menggunakan celemek berwarna biru langit, atau terkadang menggunakan seutai kain bercorak bebas yang penuh akan noda masakan.

Joel dengan perasaan ikhlas dan senang untuk merengkuh dan memeluknya si cantik, menanamkan wajahnya pada lekukan leher putih dengan aroma sedap itu. Ia memeluk erar tubuh yang pas di dalam kukungannya, lalu mereka tertawa bersama sambil berputar putar akan film Hollywood.

"Aku kangen sama kamu, pakek banget biar spesial"

"Aku juga, pakek telor biar spesial"

Lalu, si manik hazel manis itu akan menanyakan pada Joel ingin makan terlebih dahulu atau ingin membersihkan diri.

mi ángel de amorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang