Day 9

0 0 0
                                    

"Aku hanya terpikirkan sesuatu," jawabku, tersenyum tipis.

"Oh." Dia membulatkan bibirnya dan berjalan melewatiku. "Ayo segera bergerak."

Gedung Merah. Itulah tujuan kami saat ini. Kami berjalan di antara gang-gang sempit dengan suara langkah seminim mungkin.

Hari pun menjelang malam, tapi perjalanan kami menuju Gedung Merah masih panjang. Kami berdua pun akhirnya memutuskan untuk bersembunyi di ruangan gedung, setelah membunuh beberapa Zombie yang sempat menjadi penghuninya.

Ruangan pertama yang kami datangi adalah dapur. Benar, dapur.

Aku dan Jewel memang tak kekurangan makanan, tapi apa salahnya menghemat di tengah Arena Zombie?

Kulkas, lemari, laci meja. Semua benda tak pernah luput dari pandangan dan tangan kami yang nakal ini. Untung ada beberapa camilan ringan yang bisa disimpan ke dalam tas ransel kami.

"Sepertinya sudah tak ada lagi yang bisa dijarah. Lebih baik kau periksa kamar mandi, apakah airnya mengalir. Jika iya, mandi duluan," perintah Jewel padaku.

Aku mengangguk, melepaskan tas ranselku dan meletakkannya ke atas sofa kulit yang masih bagus.

Kaki-kakiku kemudian bergerak menuju kamar mandi. Namun langkahku terhenti di depan pintu, melihat seekor Zombie dengan ukuran tubuh anak balita terkunci di dalam kamar mandi.

Zombie Kecil itu menggeram dan menabrak-nabrakkan dirinya ke pintu, hingga Jewel datang dengan raut bingung.

"Ada apa?" tanya Jewel padaku. Dia tampak heran, melihatku tak membuka pintu dan hanya mengamati jendela atasnya yang agak transparan.

Wajahku mengarah padanya, sementara jari telunjuk kananku terangkat dan mengarah pada Zombie Kecil di balik pintu. "Ada Zombie Kecil di sini," kataku, gemetaran.

Gemetaran ini bukan karena rasa takut. Melainkan rasa iba. Aku tak pernah membayangkan, bahwa aku akan melihat Zombie dengan ukuran balita.

Dadaku terasa sesak, ketika melihat Zombie Kecil itu. Sosoknya seperti mengingatkanku pada Adik Bungsu yang baru lahir tahun lalu.

Umurnya sudah satu bulan lebih. Senyumnya manis dan tawanya menular. Dia sungguh menggemaskan. Sayang sekali aku tak bisa melihatnya lagi di sini.

"Kau merasa iba padanya?" Jewel melangkah ke sisiku, lalu meletakkan tangan kirinya di pundak kananku.

"Iya," jawabku, mengintip ke balik pintu.

Brak-brak-brak! Suara dobrakan yang ganas pun menggema, disertai geraman buas. Tak lain dan tak bukan karena Zombie Kecil yang menghuni ruangannya.

"Dunia memang kejam. Tapi kita tak memiliki waktu untuk mengasihaninya. Jika kau tak mampu membunuhnya, maka aku yang akan melakukannya," ujar Jewel.

Dia berjalan keluar, lalu kembali dengan pisau di tangannya. Aku pun menyerahkan ini padanya, aku tak akan sanggup untuk membunuh Zombie Kecil itu. Sanubariku akan tergores, membunuhnya dengan kedua tangan penuh dosa ini.

"Ghaaaaaaak!" Jeritan pilu pun menggema, ketika Jewel membuka pintu dan mengayunkan pisau itu ke leher si Zombie Kecil.

Darah busuk pun bercipratan di udara, lalu jatuh membasahi lantai. Jewel berjalan melewatiku yang hanya menonton sambil menahan diri untuk tidak menangis.

"Jangan menangis. Dengan membunuhnya, kita sudah membuatnya bebas dari kejamnya dunia," kata Jewel sambil berjalan melewati tubuhku.

LAST SURVIVOR (Bertahan di Arena Penuh Zombie)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang