10. Liburan

5.2K 369 13
                                    

a/n:

di chapter sebelumnya, sekolah Eila dijelasin bakal ngadain piknik ke Malang, tapi setelah dipikir-pikir (seperti jarak Bandung ke Malang, dan beberapa alasan lain yang nggak bisa aku jabarkan di sini, jadi aku revisi tempat wisatanya. kalo yang masih ada Malang dan Selecta, bisa direfesh lagi, okay?

hap hap happy reading 🥰🥰








Biasanya Eila hanya melihat teman-temannya yang akrab dengan ayahnya, seperti Anye yang begitu dekat dengan Rian. Tapi kali ini ... Eila juga bisa dekat dengan sang ayah. Bahkan ia bebas memeluk, mencium, dan meminta apa pun pada pria itu. Karena Janu tipikal orang tua yang menjunjung tinggi prinsip "kalau anak gue bahagia, gue juga bahagia" tapi bapak satu anak itu melupakan konsep bahagia yang sebenarnya.

Dan Nada jelas tidak suka cara parenting yang ia terapkan selama ini hirap begitu saja.

Contohnya ketika turun dari bus, Janu yang lebih dulu menapakki tanah dengan sigap meraup tubuh mungil Eila untuk digendong. Alasannya, takut si kecil dihantam bocah laki-laki berambut keriting yang tadi merebut jatah snack Eila. Pria itu juga melarang Anye yang bermaksud mengajak Eila gandengan, masuk ke Kebun Binatang Bandung ---tujuan mereka. Dan alasannya sungguh diluar naruto! Takut anaknya kena covid.

Tentu saja bapaknya Anye nggak terima. Ditariknya Anye ke balik punggung, Rian mengedikkan dagu ---sama angkuhnya dengan Janu. "Lo pikir tanpa anak lo, temen gue nggak punya temen?!" sewotnya, menurunkan pandangan, ia tatap Anye yang berkedip lugu. "Mulai sekarang nggak usah temenan sama Eila. Bapaknya nggak ada akhlak."

"Tapi biasanya Anye main sama Eya, Pa." Anye tidak membangkang, bocah kecil itu hanya bingung; kenapa harus menjauhi Eila, sementara yang berselisih paham ayah mereka. Aneh.

"Papa bilang ... mulai sekarang jangan!" tekan Rian, menarik Anye pergi.

Di gendongan ayahnya, Eila cemberut.

Disadari Nada yang kemudian menggerutu, "Kalau kamu ikut, cuma untuk cari ribut, mending pulang!" sengitnya, melirik Janu dengan sorot sinis. Otomatis yang dilirik mendelik ---tak terima. "Namanya anak-anak pasti ada ribut-ribut, berantem, terus baikan lagi. Kayak nggak pernah TK aja."

"Ya mana aku inget pas aku TK?!" balas Janu, berapi-api.

Nada memutar mata.

Selagi Eila yang tampak berkaca-kaca menyela, "Papa tidak boleh malahin Mama."

"Enggak, Sayang," sangkal Janu, memeluk putrinya.

"Eya tidak suka Papa malahin Mama!" aku Eila, sedih.

"Papa nggak marahin Mama kok. Maaf ya, kalau Eila tersinggung," ucap Janu, memeluk putrinya lebih erat. Sesekali ia kecup pipi chubby anaknya dengan sayang. Hingga setetes bulir bening jatuh dari sudut mata Eila. Segera Janu usap dengan telapak tangan. "Udah dong. Papa minta maaf."

Eila tidak merespons, anak itu merentangkan kedua tangan ke arah sang ibu, minta gendong. Buru-buru Nada mengambil alih putrinya. Dan entah kenapa, Janu merasa terluka atas pengabaian si kecil. Mungkin karena ia tidak pernah diabaikan atau ... memang sesakit ini dicampakkan anak kandungnya sendiri?

Repair [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang