01

1 0 0
                                    

Stasiun Kota, Jakarta Selatan

Ameera keluar dari kereta yang baru saja di tumpanginya masih dengan wajah terkantuk, matanya berusaha terbuka sedemikian rupa, kakinya juga sebisa mungkin dipaksa untuk tetap kokoh menyangga tubuhnya.

Diperiksanya barang bawaannya yang tidak banyak sebelum jalan terlalu jauh meninggalkan kereta yang masih berhenti itu.
Perjalanan Jogja-Jakarta, Jakarta-Jogja yang nggak hanya sekali dua kali tetap saja berhasil membuatnya lelah. Bukan hanya tubuhnya, tapi juga hatinya.

Ada banyak hal yang ia bawa pulang beberapa hari lalu, tapi ada banyak hal pula yang ia bawa kembali. Bukan barang, bukan oleh-oleh, tapi rasa, luka dan lara.

🎭

Jam sepuluh tepat!

Anggita berlari menuju kelasnya. Sambil memaki siapapun yang telat memberitahu jadwal pergantian kelas yang super dadakan ini. Masih untung dia punya waktu setengah jam sebelum kelas itu dimulai. Jika tidak sudah bisa dipastikan satu kelas itu akan mendapatkan hukuman hanya karena keterlambatan satu orang. Dosen yang hari ini akan memberikan materi kuliah di kelasnya sedang berjalan menuju arah yang sama dengannya, namun tiga meter lebih depan.
Dengan semua kekuatannya yang ia berlari menyeimbangi langkah dosen itu meski tak harus sejajar. Cukup dengan berjalan di belakang dosen itu sampai masuk di kelas, bagi Anggita sudah cukup aman.

Sebenarnya Anggita bisa saja berlari mendahului dosen itu dan masuk ke kelasnya lebih dulu demi menghindari hukuman yang jelas akan dilayangkan padanya nanti, tapi ia lebih tau adab menghormati guru.

Zidan, dosen yang terkenal dengan ketampanan serta kecerdasannya di berbagai keilmuan, baik di ekonomi, komunikasi, bahasa dan seni membuatnya di kenal hampir di seluruh penjuru kampus. Karena meski ia dosen tetap di fakultas Ekonomi-Bisnis, dia juga mengajar di beberapa mata kuliah fakultas lain. Tak heran jika fansnya banyak. Sayangnya, Zidan si paling penganut ilmu kedisiplinan. Telat semenit di kelasnya, bakal ada bencana bagi si pelaku, entah itu berbentuk hukuman ringan, sedang, bahkan berat. Termasuk juga bagi mahasiswa yang tak mengerjakan tugas yang ia berikan, siapapun, dari ras dan suku apapun, jika tak mengerjakan tugas di kelas Zidan, siap-siap aja bakal dapat tugas double yang jauh dari ekspektasi siapapun.

Dan Anggita, dialah satu-satunya mahasiswi dari sekian banyak mahasiswi yang diajar Zidan yang paling sering melakukan pelanggaran, mulai dari telat, tidak mengerjakan tugas, bahkan paling parah, Anggita pernah tidur di kelas saat Zidan sedang menerangkan materi.

Anggita sama sekali tak pernah bermaksud apalagi punya niat untuk meremehkan dosennya itu, tapi dia juga tidak tau kenapa dirinya bisa sebandel bahkan sesantai itu menghadapi Zidan. Pak Zidan! Bahkan terkadang ia juga mencetuskan jokes-jokes receh disaat kelas berlangsung atau melemparkan pertanyaan out of the box pada presentator yang jelas tak bisa mereka jawab dan melemparkan pertanyaan itu pada dosen mereka, dan itu akan semakin panjang dengan pertanyaan-pertanyaan lain yang Anggita berikan. Ia tau, bahkan sangat tau, dibalik ketenangannya, Zidan menyimpan dendam pribadi padanya.

"Nggak telat, kan datengnya bareng bapak!" Ucap Anggita saat Zidan berbalik akan menutup pintu kelas.

Zidan tersentak mendapati mahasiswinya itu ada di belakangnya. Dan langsung memberinya ultimatum atas ketidak telatannya.

Kelas berjalan tenang, materi yang Zidan sampaikan kali ini juga tak terlalu berat. Tak ada mahasiswa/i yang tiba-tiba baru datang saat kelas atau hanya sekedar izin ke toilet yang ujungnya pasti tak kembali. Tak ada celetukan receh, tak ada pertanyaan aneh seperti sebelum-sebelumnya membuat Zidan merasa aneh. Dan ternyata si biang onar terlelap di bangkunya. Kursinya yang cukup strategis untuk tak terlihat dari depan, ditambah buku yang sajak tadi berdiri menutup kepalanya yang mengelabuhi Zidan dan percaya jika kelasnya benar-benar berjalan kondusif.

Anggita terlelap, wajahnya terlihat begitu lelah. Membuat Zidan kali ini tak ingin membangunkan gadis itu. Ia membiarkan Anggita menikmati tidur selama kelasnya berlangsung. Entah rasa apa yang tiba-tiba menghampirinya, ia iba dangan gadis yang selalu berhasil menaikkan emosinya itu.

Kelas selesai tepat pukul dua belas siang dan Anggita masih dengan posisinya, matanya pun masih terpejam. Dibelakangnya, Rio iseng-iseng mengabadikan beberapa moment tidurnya Anggita, ia juga diam-diam memotret Zidan saat mengajar tadi dengan Anggita yang tertidur di bangkunya, candit dengan dua objek cukup kontras. Sementara Anna, Alexa dan Rara, tiga teman baik Anggita hanya bisa menunggu gadis itu tidur di kursinya masing-masing. Mereka menjaga tanpa menyentuhnya, cukup dengan mereka ada di sekitar Anggita, cewek itu tak akan kenapa-napa.

Perlahan mata Anggita terbuka, kelas sudah sepi. Menyisakan beberapa mahasiswa yang sibuk dengan dunianya sendiri. Ketiga temannya masih setia di bangku mereka, termasuk Rio yang kini juga asik memainkan HP dengan segala sumpah serapahnya. Bahkan umpatan kasar, hal yang cukup wajar jika cowok sedang duduk, dengan HP miring di tangannya.

"What's?" Pekik Anggita saat melihat jam. Ia sadar, ia tidur sejak pertama kali masuk kelas ini. Tiga jam yang lalu, bahkan bisa dibilang hampir empat jam. "Untung pak Zidan moodnya lagi baik hari ini" celetuk Alexa dengan cengirannya ke arah Anggita.

"Kok kalian gaada yang bangunin gue sih?" Protes Gita.

"Eh, anda tidurnya udah kek orang mati ya, tolong!" Ejek Rara dengan muka serius disusul tawanya, lalu menunjukkan foto Zidan yang sempat melipir ke bangku Anggita tapi tak memberikan reaksi berlebihan.

🎭

Ameera menatap jalanan yang lenggang. Benar saja, ia sedang berada di pinggiran Jakarta yang jauh dari hiruk pikuk perkantoran. Jauh dari pusat bisnis atau apapun itu yang berkaitan dengan keramaian. Namun disini juga tak sepenuhnya sepi. Dari kejauhan memang tak terlihat banyak orang, tapi setiap celahnya menyimpan bandit-bandit berbahaya.

Insting dan kesiapsiagaan harus berjalan senalar. Jika tidak, maka bukan lagi bahaya yang menghadang, tapi nyawa juga akan menjadi taruhan.

"Hai bang..." Sapa Ameera pada lelaki paruh baya dengan tatto yang hampir memenuhi seluruh tubuhnya. Namanya Doni, tapi lebih sering disapa Brady. "Tumben di rumah aja nih," seru Ameera.

"Anak gue lagi sakit Meer, ga berani gue keluar jauh-jauh" jawab Brady dengan wajah datarnya yang sirat dengan kecemasan. Ameera tau, dibalik wajah garang laki-laki di depannya ini, dibalik kebengisannya di medan pertempuran, Ameera tau jika Brody adalah tipikal laki-laki bertanggung jawab dengan keluarga, sayang dengan keluarga, meskipun jalannya mencari nafkah tak sepenuhnya benar.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 09 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

EQUANIMITY Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang