14. Mawar Hitam

4K 325 25
                                    



"Dia masih bisa tanya Eila baik-baik saja?" Pertanyaan bernada mencela itu berhasil membuat Nada terperanjat dan nyaris melempar ponselnya—kalau saja kewarasan tidak lekas digapai. Wanita itu menoleh, ibunya berdiri tepat di belakangnya sambil memangku tangan. "Hebat!" sindir Nimaz, melempar fokus ke arah Eila, melanjutkan, "Papamu emang hebat, La! Saking hebatnya, jangan sampai kamu niru kelakuannya."

"Bu," tegur Nada, lelah.

"Apa?" Kembali menatap si sulung, ekspresi Nimaz berubah galak.

"Eila turun ya? Mama mau ngomong bentar sama Uti," bujuk Nada, ditolak sang putri lewat gelengan. "Eila ... sebentar aja kok. Abis ini main sama Mama, okay?"

"Nggak oke, Mama!" Eila mengalungkan kedua tangannya ke leher sang ibu.

"Lagian, apa yang mau kamu omongin? Soal Janu?" tembak Nimaz dengan nada sewot. "Cih!" Memutar mata muak, bibirnya bergerak sengit. "Nggak perlu. Mending kamu urus anakmu dengan baik dan nggak usah ngarepin siapapun. Mau Restu ataupun Janu, kamu nggak akan bahagia. Karena stigma janda ibarat sampah di mata masyarakat. Jadi, nggak ada yang lebih penting selain perkembangan Eila. Toh, tanpa laki-laki, kamu tetap bisa berdiri sendiri, 'kan?"

Ucapan Nimaz tidak sepenuhnya salah. Nyatanya, Nada tetap bisa berdiri dengan kedua kakinya sendiri. Bahkan ketika berumah tangga dengan Janu, bukan cuma nafkah batin saja yang tidak diberikan pria itu, nafkah uang pun Janu ogah memberinya. Dan Nada tidak pernah menuntut—apalagi mengemis, karena ia sadar bahwa pernikahan mereka cuma sandiwara.

"Aku udah ngasih seratus juta, masa aku harus nafkahin kamu selama kita berumah tangga?" Begitu katanya, kala itu.

"Udah, kamu jagain Eila. Ibu ada janji sama Tante Ayu."

Selepas kepergian Nimaz, Nada menyempatkan diri untuk membalas pesan dari Janu. Katanya; Eila selalu baik-baik aja, tanpa kamu di sisinya. Nggak perlu khawatir. Dan jangan datang kalau kamu lagi sibuk.

Mengeratkan genggaman pada ponsel, tatapan Nada teralih pada Eila yang balik menatapnya. Ibu satu anak itu menyunggingkan senyum tipis, bersamaan dengan itu air matanya menetes. Eila mewek, memeluk leher ibunya lagi dan bersandar di sebelah pundak wanita itu. "Mama jangan nangis."




***




"Kamu nge-prank aku?!"

Dengan senyum santai, Inez mengangguk tanpa rasa bersalah. Menghela jarak, ia peluk pacarnya. Mengendus aroma mint yang menguar dari tubuh Janu. "Kangen," ujarnya, manja.

Janu juga merindukan pacarnya ini, tapi ... apa yang dilakukan Inez barusan sungguh diluar prediksi Janu. Pria itu enggan membalas pelukan Inez, membiarkan tubuhnya yang didekap sang pacar dengan erat. "Aku tadi ninggalin Eila demi kamu," lirihnya, sendu. "Pasti sekarang Eila sedih banget."

Mendongak untuk menatap Janu, senyum di bibir Inez memudar. Agak mengerucut. "Jadi kamu nyalahin aku?"

"Enggak gitu, Sayang. Tapi—"

Repair [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang