Sang Pangeran

12 2 0
                                    

Semilir angin menggugurkan dedaunan kering, membuatnya berjatuhan di atas bumi. Sedangkan kedua manusia di dalam sana tak hentinya bergelut, memperebutkan kue cokelat yang baru saja matang dari oven.

“Pokoknya aku gak mau tahu, kue cokelat ini punyaku. Tante makan kue lain saja, mengalah sama keponakannya sendiri.” Azila masih menggenggam erat nampan yang berisikan kue cokelat.

Fitri tak bisa terima, gadis itu membantah ucapan sang keponakan, “Eh, enggak ya! Kue ini dibuat khusus untuk tante, jadi kue ini tetap milik tante. Enak aja main rebut.”

“Gak bisa. Pokoknya kue cokelat ini punya tante, mendingan kamu main sana! Jangan menganggu ketenangan Tante.” Fitri mengayunkan telapaknya, mengusir keponakannya yang masih berusia belia itu.

Dengan kesal, Azila menjambak rambutnya. “Huh, tante tuh kenapa sih? Gak mau ngalah sama keponakannya sendiri? Harusnya tante itu belajar menjadi tante yang baik.”

“Eh, enggak, ya. Jangan menasihati tante!” sanggah Fitri yang berusaha melepaskan cengkeraman tangan keponakannya, sangat kuat dan merontokkan beberapa helai rambutnya.

Fitri terlonjak, menatap helai rambut yang berada di ditelapak tangan keponakannya, membuatnya berteriak histeris dan mengejar keponakannya yang sudah berlari jauh darinya, “Agggrrrhhh! Azila, awas aja kamu ya. Tante bakal bikin perhitungan sama kamu.”

Fitri setengah berlari menyusul keponakannya yang berlari ke arah depan. Gadis berhidung lancip itu mempercepat langkahnya menuju area taman yang berada tak jauh dari rumahnya. Sedangkan Azila mengendap-endap mencari tempat persembunyian agar aman dari kejaran sang tante.

Remaja itu mengumpat, “Dih, mimpi apa aku punya tante galak kayak gitu? Seandainya saja tanteku baik kayak tantenya sih Willy. Pasti rasanya bahagia banget diperhatikan terus.”

“Udah mama sering sibuk sama kerjaannya. Eh, punya tante galak pula kayak macan, miris banget sih nasibku.”

Remaja berusaha belia itu menangis saat mengingat keberadaan sang mama yang berada jauh di luar kota. Sedangkan dia harus tinggal di rumah bersama sang tante dan dua asisten rumah tangga.

Azila sering ditinggal pergi oleh orang tuanya, demi mencari memenuhi kebutuhan masa depannya. Perlahan Azila menyeka butir-butir air yang telah menggenang di pelupuk mata, membujuk dirinya sendiri.

“Udah Azila, kamu gak boleh nangis. Walau gimana pun tante Fitri orangnya baik. Ya, meski keseringan galak daripada baiknya. Tapi kan dia marah karena  memang aku yang salah.” 

Remaja itu menelisik tiap-tiap sudut, memastikan keberadaan Fitri di sana, setelah di rasa aman remaja cantik itu keluar dari persembunyiannya.

Saat melangkah menuju tangga tiba-tiba dia tak sengaja menabrak pria tampan yang tengah menaiki anak tangga.

Semilir angin telah meniup rambutnya, membuat Putra semakin tampan dengan pesonanya. Azila tak berkedip menatap pria yang tengah berhadapan dengannya, membuatnya tak henti bermonolog. “Ya ampun, aku mimpi apa semalam? Ketemu pangeran tampan begini?” 

Putra mendekatinya, memastikan membawa gadis itu baik-baik saja. Tangannya terangkat menepuk pundak milik remaja itu, “Halo, are you okay?” 

“Yes, I'm okay.” Azila menunduk, memasang wajah semanis mungkin, “Oh sampai lupa, silahkan masuk ….” 

Dengan cepat Putra menyambung ucapannya dan tak lupa memperkenalkan diri. “Oh iya, perkenalkan saya Rangga Saputra, kamu bisa panggil saya dengan sebutan om Putra.” 

“Loh, masa tampan begini dipanggil Om sih? Pokoknya Zila gak setuju!” Azila menaikkan alisnya, kedua netranya tak pernah lepas membidik setiap inci tubuh pria tampan itu. “Kayaknya kalau dipanggil Om gak cocok deh.”

“Enggak, aku gak setuju.” 

Azila menggeleng, sedangkan Putra tersenyum menatap kekasihnya yang berdiri di belakang Azila.

Pria tampan itu merentangkan tangan, menyambut kehadiran kekasihnya, “Kamu ngapain di sini sama Azila? Jangan bilang kalau dia bikin ulah dan usil sama kamu.” 

“Eh, enggak kok, Ay. Azila sama sekali tidak usil,” sahut Putra yang tak lelah menyuguh senyuman untuk sang kekasih, “Aku cuma ngobrol sebentar sama Azila.” 

“Oh iya, kalian belum kenalan kan?” Fitri mengenalkan kekasihnya kepada sang keponakan. “Kenalin ini Putra kekasihnya tante. Sebentar lagi kami akan menikah, dia akan jadi om kamu.” 

“Why? Dia akan jadi oom Azila?” 

Remaja itu berteriak histeris, seakan tak terima dengan penuturan sang tante.

Melihat gelagatnya, pasangan kekasih itu saling melempar pandangan.

“Enggak, pokoknya kalian tidak boleh menikah! Aku gak mau kalian menikah,” tegas Azila.

“Apa maksudmu? Apa hakmu melarang tante untuk menikah?” sahut sang tante tak kalah tegas.

“Pokoknya aku gak mau, Tante. Batalkan pernikahan kalian, atau aku akan pergi dari rumah?” Usai memberi ancaman, gadis itu pun berlari meninggalkan keduanya.

Kedua netranya, tak henti meneteskan air. Azila sangat kecewa dengan keputusan tantenya yang memutuskan untuk segera menikah.

“Jika mereka tetap mau menikah, mendingan aku pergi saja dari kehidupan mereka untuk selamanya. Aku gak sanggup berbagi kebahagiaan dengan tanteku sendiri.”

“Semuanya terasa hampa,” lirihnya.

Gadis itu memajukan langkah, menghampiri jembatan gantung. “Aku gak akan sanggup melihat mereka bersanding, jadi lebih baik aku pergi saja dari kehidupan mereka untuk selamanya.”

Remaja cantik itu merentangkan kedua tangannya. Setelah puas meraup udara, Azila memilih pasrah dan menjatuhkan diri.

“Selamat tinggal dunia.”

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 17 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Bukan Cinderella Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang