"Hahh~" dengus seorang gadis yang baru saja turun dari sebuah taksi online. Ia berdiri tepat di depan gedung besar yang terhampar luas dengan nuansa hijau dan kuning yang lebih mendominasi. Banyak anak muda seusianya yang berlalu-lalang di sana. Sejenak, ia mengedarkan pandangannya ke segala penjuru arah. Memperhatikan detail setiap yang terlihat olehnya. Lila Art High School. Ia tersenyum simpul, merasa gembira karena bisa kembali ke tempat ini, tempatnya menimba ilmu, dan juga tempatnya menghabiskan canda tawa bersama dengan teman.
Beberapa detik kemudian, bersamaan dengan hembusan angin yang menyapu rambut panjangnya yang dibiarkan tergerai, ekspresi wajahnya seketika berubah. Angin pagi yang datang menyapa seakan menyadarkannya pada kenyataan. Kini ia merasa bimbang. Haruskah kedatangannya saat ini ia kategorikan sebagai momen bahagia, atau justru sebaliknya?
Mencoba menepis segala kemungkinan yang ada dibenaknya, ia segera menarik nafas dalam, lantas mulai melangkah memasuki gerbang utama sekolah.
Gadis itu berjalan melewati beberapa kelas dengan senyuman menemani setiap langkah kakinya. Tak sabar. Perasaan itulah yang telah merasuki jiwanya sehingga membuatnya ingin segera sampai di kelas, kelas yang memang sudah cukup lama ia tinggalkan.
3-1. Ia berdiri dibalik pintu, memasukan kepalanya was-was untuk mengecek sesuatu. Didalam sana terlihat para siswa sedang sibuk dengan aktivitasnya masing-masing.
Lantas iapun masuk dengan memperlambat ritme langkahnya sembari menghampiri sekelompok orang yang sudah menjadi targetnya sejak awal. Dan, duarr... ia berhasil membuat mereka terkejut.
"Minjung-ah?"
"Kim Minjung? Benarkah ini kau??"
Tanpa adanya instruksi apapun mereka langsung berhambur saling berpelukan. Erat sekali.
"Minjung-ah, aku sangat merindukanmu." tutur Jiyeon lembut di sela-sela pelukan hangat mereka.
Sekelompok orang ini adalah sahabat Minjung; Jiyeon, Haneul, dan Yoona. Orang yang sangat berarti didalam hidupnya, hidup seorang gadis asing yang beruntung mendapatkan beasiswa untuk belajar di sekolah terbaik dan bergengsi di ibukota.
"Yoona-ya..." seru lembut seseorang tiba-tiba.
Refleks mereka saling melepas pelukannya dan segera menoleh ke arah sumber suara.
Minjung memperhatikan lekat sosok lelaki jangkung yang kini berada di hadapannya. Ah, bukan! Maksudnya, si lelaki yang kini berada di hadapan dirinya, juga sahabat-sahabatnya.
"Annyeong!" sapa Haneul dan Jiyeon hampir berbarengan.
Lelaki itu menarik tipis kedua ujung bibirnya sepersekian detik.
"Annyeong~" sapa Minjung kemudian. Mencoba untuk ikut andil dalam suasana yang ada.
"Yoona, gimana kabarmu?" seolah tak mendengar sapaan Minjung, si lelaki malah mengalihkan topik. Atau lebih tepatnya, ia memang sengaja mengabaikannya.
"Kau ini kemana saja? Kau menghilang selama beberapa hari dan kau sama sekali tak mengabariku? Apa kau tidak tahu bagaimana aku sangat mengkhawatirkanmu, eoh?" Yoona melipat kedua tangannya di dada sembari mengerucutkan bibir mungilnya.
"Apa kau marah?" lelaki itu menyentuh bahu Yoona yang berdiri membelakanginya. Menuntun agar wanita itu kembali menghadapnya.
"Mian.." Senyuman maut itu begitu manis terukir. Membuat siapapun yang melihat pasti langsung terkesima. Jika didalam cerita fiksi, keadaan seperti ini bisa saja digambarkan bahwa para wanita atau mungkin lelaki sekalipun yang menyaksikan akan meleleh, mimisan, atau mungkin jatuh tak sadarkan diri. Tak sedikit orang yang merasa iri dengan perawakan yang dimiliki lelaki ini. Seluruh penduduk pun mengakui bahwa dia adalah salah satu role model penting bagi sekolah elit ini selama dua tahun terakhir.
"Ani," tukas Yoona sembari menggelengkan cepat kepalanya.
"Tunggu!" seru Haneul tiba-tiba, dan berhasil membuat mereka beralih memandangnya. "Bukankah kau dan Minjung absen di hari yang sama? Lalu, kenapa kalian bisa masuk di hari yang sama juga? Apakah ini hanya kebetulan atau...?"
"Jungkook-ah!" Panggil seseorang tiba-tiba. Lelaki itu, Jungkook, ia menoleh, lantas satu dari tiga lelaki yang sedang berdiri di ujung pintu kelas tersebut melambaikan tangan tepat kearahnya.
"Yoona-ya, gaja!"Jungkook meraih pergelangan tangan Yoona dan langsung membawanya pergi bersama ketiga lelaki yang dimaksud.
Sikap lelaki jangkung satu ini memang berbeda terhadap Minjung. Jangankan untuk tersenyum, hanya sekedar membalas sapaannya saja pun nyaris tak pernah ia lakukan. Dimulai sejak beberapa bulan silam, pandangannya tak pernah berubah. Selalu menatap Minjung tajam. Tatapan yang menunjukkan aura yang benar-benar sesak akan virus kebencian.
"Minjung-ah?"
"Kim Minjung!"Jiyeon mengibaskan tangannya di depan Minjung.
"Ada apa? Kau baik-baik saja?" Selidik Haneul sambil memeriksa suhu tubuh sahabatnya itu.
"Tidak, aku tidak apa-apa." Minjung tersenyum, meyakinkan sahabatnya bahwa dia memang baik-baik saja."Senyumannya, kedipan matanya, hatinya. Tuhan, kenapa semua itu tak terlahir untukku? Tak pantaskah aku mendapatkannya? Jika memang dia bukan takdirku, mengapa ini semua harus terjadi padaku? Dari sekian banyaknya manusia, mengapa Kau harus menitipkan rasa ini padaku? Harus kuakui, hatiku sakit. Sakit sekali. Jika aku diberi kekuasaan untuk memilih, aku ingin sekali menghindar, pergi jauh dari jebakan mematikan ini. Sekarang apa yang bisa kuperbuat? Nyatanya aku sama sekali tidak bisa berbuat apa-apa." batin Minjung pasrah.
~
Bel berbunyi. Tanda pelajaran hari ini sudah berakhir. Para siswa yang saling berlomba berhamburan keluar kelas semakin membuat riuh suasana.
"Teman-teman, aku pulang duluan ya? Kakakku sudah menunggu didepan." ujar Jiyeon sambil membenarkan tasnya, lalu berjalan ke luar kelas.
"Sepertinya hari ini aku juga tidak bisa pulang bersama kalian. Aku sudah ada janji dengan Jungkook." tutur Yoona tersipu. "Mian," ia terkekeh, "bye, semua!" teriaknya sambil berlari kecil meninggalkan kelas.
"Aigoo~ dasar anak ini! Huft, seandainya pangeranku datang, lalu mengajakku untuk berkencan, tentu aku akan menerimanya dengan senang hati." celoteh Haneul dengan tatapan menerawang.
Tok..tok..tok!
Ketukan itu berhasil membuyarkan khayalan indah Haneul. Ia dan Minjung yang memang duduk sebangku segera menoleh ke arah sumber suara. Dan betapa terkejutnya Haneul sampai-sampai ia membelalakkan kedua bola matanya. Sejurus kemudian ia pun langsung membetulkan rambut dan penampilannya yang sama sekali tidak berantakan.
"Kendalikan dirimu, Nona!" bisik Minjung memerintah.
Haneul mengangguk-anggukkan kepala dengan memamerkan senyuman termanisnya untuk menyambut seseorang yang kini tengah berjalan menghampiri dua insan yang tersisa didalam kelas.
Sementara itu, Minjung berusaha keras menahan tawa melihat sikap konyol sahabatnya satu ini yang tak pernah berubah.
"Annyeong~" ujarnya santai. Senyumannya begitu manis terukir. Tulus dan tak ada unsur kebohongan disana.
"Kau ini benar-benar ya! Tahu saja apa yang kuinginkan, dasar jodoh!" dengan sumringah Haneul langsung merangkul lengan si lelaki yang tadi sempat muncul di imajinasinya.
Orang yang dimaksud Haneul seketika mengangkat sebelah alisnya karena heran. Sembari memandangi tingkah sahabatnya, Minjung tersenyum sambil menggeleng-geleng tak habis pikir.
"Ada apa?" Tanya Minjung kemudian.
"Aniyo," si lelaki berusaha melepaskan rangkulan Haneul. "Setelah ini kau tidak ada acara lagi, kan? Ayo, pulang bersama denganku!"
Belum ada sepatah katapun yang keluar dari mulut Minjung sebagai persetujuan atas ajakan tersebut, lelaki ini langsung saja menarik pergelangan tangan Minjung dan membawanya pergi tanpa menghiraukan keberadaan Haneul disana. Atau setidaknya berpamitan terlebih dahulu kepadanya, mungkin itu akan jauh lebih baik, daripada ditinggalkan begitu saja, seorang diri, tanpa perasaan. Sangat menyedihkan.
"KIM TAEHYUUUNNGG!!!" Haneul menghentakkan kuat sebelah kakinya ke permukaan lantai yang tengah diinjaknya. Kesal. Benar-benar kesal.
Taehyung. Ya, lelaki itu adalah Kim Taehyung, sosok lelaki tampan yang memiliki paras diatas rata-rata dan merupakan incaran Haneul selama hampir satu tahun ini, terhitung semenjak Taehyung masuk sebagai siswa pindahan di sekolahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
STORY YOU NEVER KNEW
FanfictionMinjung adalah seorang gadis desa yang merantau ke ibukota untuk melanjutkan pendidikannya. Disana ia bukan hanya menemukan wawasan baru, pengalaman baru, teman baru, tetapi juga sebuah cinta. Ya, benar! CINTA. Satu kata yang penuh dengan misteri. L...