“I will be waiting for you. I promise” Ucapnya 4 tahun yang lalu di bandara saat aku akan menaiki pesawat yang mengantarkanku ke negri orang ini.
Saat itu, saat usiaku masih 18 tahun, aku harus memilih antara studyku di Amerika or sebuah cinta yang memberiku banyak harapan. Selayaknya remaja yang masih labil awalnya aku memutuskan untuk tetap berkuliah di Indonesia but it would be a shame to see the potential I have.
Satu minggu dua minggu, kami selalu berkomunikasi via telephone, saling mengabari kabar lewat chat, dan Vidio call tiap malam. But then it was very difficult to hear from him. Even the chat that I send every hour he never reads.
4 tahun tak terasa di room chat ini aku berkomunikasi sendiri. Memberinya kabar tiap hari meski ia tidak akan melihatnya. Menyapanya tiap pagi meski ia tak akan membalasnya. Terkadang aku juga menelphonnya meski tau ia tak akan menjawabnya.
Aku seperti gadis bodoh yang telah gila karena cinta. Tak pernah membuka hati untuk siapapun dengan alasan dia akan kecewa saat mengetahuinya, padahal yang aku khawatirkan tak pernah mempedulikanku lagi tak pernah menanyakan kabarku lagi, mungkin ia tak lagi peduli aku masih hidup atau sudah mati.
Nomor nya masih aktif, kadang aku milihat tulisan online dibawah namanya, namun yah dia memang tidak ingin membalas chatku. Tapi ia juga tidak berniat memblokir kontakku. Apa yang sebenarnya ia inginkan. Aku menatap begitu lama layar ponselku yang masih memperlihatkan room chat kami dan tulisan online itu. Aku menekan logo telephone untuk panggilan suara. Berdering begitu lama dan aku sudah tau bahwa ini tidak akan berhasil.
Namun diujung deringan panggilanku terhubung, tanpa kusadari air mataku menetes. Haruskah aku menunggu selama 4 tahun lamanya untuk mendengarkan suaranya kembali.
“Halo? Kau menjawabku?” kata pertama yang aku ucapkan. Entah rasanya sangat asing saat panggilan mu tak pernah dijawab namun tiba tiba ia menjawabnya.
“everything okay?” aku bertanya lagi saat tak ada balasan darinya
“tomorrow I’ll return to Indonesia. Are you still waiting for me?” tanyaku ketiga kalinya dan masih menunggunya menjawab sambil terdiam menahan tangis yang sudah diujung mata.
“Sorry” Akhirnya ia angkat bicara dengan suara parau seperti sedang menangis. Hendak aku bertanya namun ia terlebih dulu menutup telphonenya.
Disini di depan jendela yang menampilkan view kota Washington. Aku terduduk meringkuk menangis sesenggukan. Sudah 4 tahun perasaan ini ditelantarkan tapi mengapa rasanya aku masih sangat menginginkannya? Mengapa aku sangat bahagia saat akhirnya dia menjawab panggilanku? Dan mengapa aku tak melupakannya saja?
Aku mengusap air mataku dan bangkit dari lantai dingin yang ku duduki beralih kearah koper koper yang telah aku siapkan untuk kepulanganku ke Indonesia. Meskipun hatiku bergemuruh terjadi peperangan antara hati dan logika namun aku harus berangkat ke bandara sekarang. Penerbangan akan berangkat 2 jam lagi. Aku tidak ingn tertinggal pesawat. Aku sudah rindu Indonesia, rindu rumah, dan suasana ramai kota jakarta. Meski kepulanganku bukan karenanya, setidaknya aku masih memiliki tempat tujuan di sana.
“Mama I want that.” Ucap seorang gadis kecil yang berusia kisaran 2 tahun menunjuk pada roti yang sedang aku pegang.
“Iya nanti mama beliin ya, tapi tunggu pesawatnya landing dulu.” Ucap wanita yang bersamanya
“I want that mama” gadis itu tak mau mendengarkan penawaran dari mamanya, ia terus menunjuk kearahku.
“Aera sayang, ngga boleh nakal okay.” Aku tersenyum kecil saat mendengar wanita itu memanggil nama anaknya yang sama dengan namaku.
Aku yang memang duduk disebelah mereka menyodorkan rotiku pada gadis itu yang langsung tersenyum girang. Tawanya sangat manis membuat setiap orang yang melihatnya pasti ikut tertawa juga.
“I’m really sorry for this.” Ucap wanita itu padaku.
“No problem. I still have another one.” Jawabku.
“Thank you so much” wanita itu menundukkan wajahnya merasa bersalah
“Your daughter’s name is the same as mine.” Ucapku memandangi gadis yang masih asyik memakan roti itu.
“Oh really? The name was a gift from his father.” Dari sini kami berbicara banyak hal. Dan menjadi teman dalam sekejab. Aku juga tidak mempercayai ini. Aku yang anti sosial bisa begitu cepat berteman dengan seseorang.
20 jam 45 menit perjalanan dari Amerika ke Indonesia, pesawat yang ku tumpangi landing dengan selamat dan aku bergegas keluar bersama Raina dan anaknya Aera, gadis kecil yang baru kutemui namun aku sangat menyukainya.
Kami berjalan bersama keluar dari bandara sambil menceritakan culture shock. Tapi diujung pintu bandara aku benar benar dibuat shock oleh sosok yang tak asing.
“Kak Rendi?” panggilku amat lirih hampir tak terdengar. Sosok yang selama ini aku rindukan, sosok yang selama ini membuatku tak membuka hati untuk siapapun. Ya benar, pria itu adalah Rendi. Apa yang sebenarnya pria itu inginkan? Apa ini kejutan yang sengaja ia buat? Atau....
“Papa” Aera berlari kearah Rendi dan memeluknya erat. Tapi papa? Kenapa Aera memanggilnya papa?
“Dia suamiku. Rendi.” Ucap Raina padaku sedikit berbisik, lalu ia berjalan menghampiri Rendi yang sedang menggendong Aera.
Speechless. I don’t know what to say. It’s like a shock that almost made me die. Tubuhku seakan membeku dan aku hanya berdiri mematung memandang Rendi yang juga memandangku dengan wajah sedih. Namun akhirnya ia memutuskan untuk mengalihkan pandangannya dan berjalan pergi bersama anak dan istrinya.
Sekarang aku tahu mengapa ia tak lagi membutuhkanku, itu karena Rendi memiliki Aera yang baru dan lebih lucu.
End....