Terpatri di kepala untuk setiap kenangan yang melekat di dada, yang hingga kini masih saja ku kunjungi sesekali ke dalam ingatan ketika rindu tentangmu muncul tak berpamit dipikiranku.
Ku tumpahkan dalam tulisan ini agar kata yang terkumpul di otakku bisa berbagi peran dengan mata dan tangan yang ku miliki.
April,
Lebaran, hari yang riuh dimana semua orang berkumpul dan saling mengucap maaf satu sama lain, saling menebar senyum dan pelukan lalu bertukar cerita entah mengenai pencapaian atau kisah lama yang mengundang tawa dan tanpa diduga juga menimbulkan getir di kepala tentang hidup yang terlewat begitu saja atau terkenang wajah dari mereka yang telah tiada.Tanpa sadar tangan ini meraih ponsel di meja, untuk menghindar dari rasa was was yg ada, jelajahi dunia maya sekedar menepi dari dunia nyata yang tak pernah berjalan sederhana, terhenti pada satu nama entah kebetulan atau kehendak tuhan, kuberanikan untuk mengirim pesan padanya. Cukup lama mungkin hampir 2 jam setelahnya, pesan yang kukirim tadi berbalas, saat berniat untuk kembali kubalas pesan itu, diri ini mematung sesaat dan kuputuskan untuk berkata bahwa sudah menemukan jawab atas tanya yang tadi ingin kutanyakan, balasan tawa pun muncul dari pesan di ujung sana.
Berpikir sesaat dengan tingkah kikuk yang timbul, kuberanikan untuk melanjutkan pertanyaan, tak dinyana pesan bertaut hari demi hari, pembahasan yang rasanya tak pernah ingin ku akhiri tentang bagaimana cara kami memandang dunia dari latar tumbuh kembang yang sangat jauh berbeda. Aku pun tersadar akan satu hal, dunia yang terkadang terasa sangat brengsek ini tidak kualami sendiri, ada manusia lain yang sama, sama denganku yang banyak memendam amarah untuk apa yang telah terjadi, bahkan gurauan sederhana seperti sapaan "Hoi dari mana?" akan terasa getir saat kami tak bisa balas dengan "Dari keluarga baik-baik."
"Bahagia itu kita yang ciptain" ungkapan yang terlintas seketika, bagian sebuah naskah film yang begitu membekas di kepala, bermodalkan kalimat singkat itu kuniatkan untuk mengisi tawa dan ceria untuknya, yang menimbulkan efek domino tak terduga. Ya! tawanya itu kini jadi sumber bahagiaku. Setelah kuingat lebih jeli tingkah dan pola pikir naturalku yang bisa dimengerti olehnya yang mungkin bagi sebagian orang akan dianggap "aneh" atau "apa sih" bisa jadi tawa untuk kami berdua, perbincangan sederhana seperti "lagi dimana?" "lagi makan diluar" ujarnya, lalu ku balas dengan "kasihan, kurang ya bayarnya." Bisa menimbulkan tawa riang di antara kami, dan seketika memunculkan tatapan dan tawanya yang bisa kubayangkan dengan seksama lalu biasa kubalas dengan senyum dan mata yang menyipit dengan sendirinya.
Hari berganti, waktu berlalu seperti seharusnya namun sekarang sedikit berbeda, sudut mata ini seperti miliki sensor untuk menangkap setiap gerak geriknya, entah sekedar berjalan berlalu di depan meja kerjaku atau saat berpapasan menuju parkiran tempat kami bekerja.
Ah! Kuingat dengan jelas momen itu, lampu merah di perempatan jalan ia memutar arah untuk menuju kantor kami berada, tapi ada yang aneh, caranya berbelok Ya! ia tak sedikit menekuk lengannya agar kemudi motor yang dikendarainya bisa lebih mudah dikendalikan, ku ikuti dari belakang secara perlahan, benar saja kembali ada sesuatu yang mengherankanku, cara dia meniti turunan menuju basement tempat parkir kantor kami berada, setelah ia berhasil menempatkan motor di tempat yang diinginkannya segera ku isi spot parkir kosong tepat di sebelahnya, kulepaskan helm yg kugunakan lalu kupastikan kembali siapa pengendara aneh itu, Ajaib ternyata dia! Ya dia! makhluk yang sama tempatku berbagi cerita akhir-akhir ini, seketika tawa lepas keluar begitu saja dariku, dan dengan sedikit terkejut ia menoleh ke arah ku, "eh Kaakk" akupun memelankan tawa seraya menggelengkan kepala, yang dibalas dengan mimik wajah heran darinya, bersama kami beranjak dari spot parkir tadi, menuju lift dengan tujuan lantai yang sama, tak tahan kusampaikan padanya apa yang menjadi bahan tawaku saat itu, mimik yang serupa muncul kembali kali ini disertai rasa kikuk, kesal, dengan senyum disertai tawa kecil yang membuat mataku yang tadinya menyipit karena tawa menjadi senyum dengan tatapan sendu, sedetik kemudian aku tersadar dan kembali tertawa walau tak sekeras sebelumnya, karena aku tahu dia bukan tipikal manusia yang ingin dikasihani, dia kuat dan mandiri Ya! dia adalah matahari yang punya banyak energi dan cahaya untuk menyinari setiap manusia disekitarnya.
Kisah pun berlanjut, kami saling bertukar cerita tanpa ragu bahkan hal yang semestinya pribadi mengalir begitu saja tanpa terhenti, yang terkadang bisa entah kemana arahnya baik karena diriku yang mematahkan obrolan dengan menautkan ke hal lain, ataupun ia yang mendadak menjadi seorang pembawa acara kuis tak terduga dengan pertanyaan aneh yang selalu berhasil membuat otak ini bekerja dengan kerasnya! karena apa yang seharusnya tidak akan pernah menjadi jawaban yang tepat dari setiap pertanyaan yang diajukan.
Bayangkan saja, seketika ia mengirimkan pesan dengan bagian tubuh hewan yang sangat jelas dan nyata sekali itu adalah seekor Tupai, dan ia memintaku untuk menebak wajah dari gambar yang diberikannya, bisa kalian bayangkan apa bentuk wajah dari gambar itu? KingKong, Ya! Kingkong. Adakah manusia yang bisa memikirkan itu?! dan ia kembali memberi gambar lainnya, kali ini bagian tubuh seekor Penguin, berkaca dari apa yg kualami sebelumnya dengan percaya diri aku berkata "Ahh paling wajahnya Onyeett", Boom! muncul gambar lengkap dari bagian tubuh penguin tadi, dengan wajah Serigala, tahu apa yang lebih menyebalkan? dengan riangnya ia berkata " Wuu cupu, padahal gampang banget jawabannya". Tanpa ragu aku teriak seraya menggaruk rambut dikepalaku.
"Sekarang gantian" ujarku padanya karna tak ingin kalah begitu saja, kulemparkan pertanyaan, "Gajah, apanya yang paling gede?", "Badannya lah!" jawabnya dengan penuh percaya diri, "Salaaahh" balasku, "Lah iya apa dong?" cecarnya, "Ya apa?" ujarku, "Kupingnya, matanya, belalainya", "Salaahh salaahh salaahh" jawabku puas. "Yaudah nyerah" ujarnya, "Ya kandangnya dooong, kalau ngga gimana bisa masuk" kami pun saling melirik satu sama lain sedetik berikutnya tawa pecah diantara kami.
Setelah berpikir berulang kali kuberanikan untuk mengungkapkan perasaanku padanya, tentang apa dan bagaimana aku bisa jatuh hati, dia hanya tertawa menyangka aku hanya sekedar bergurau canda seperti hari hari sebelumnya, kucoba kembali utarakan isi hati yang sedang kurasa, kali ini lebih tenang dengan tatap mataku yg tertuju tepat di matanya, tapi bantahan darinya kembali kudapati. "Jangan jatuh hati padaku, kamu pantas dapat yang lebih baik dariku" serangkaian kata yang jadi senjata pamungkasnya, tanpa sadar aku pun tetap membujuk dan rayunya dengan harapan mendapat jawaban yang berbeda, hingga akhirnya air mata menetes dari ujung matanya membasahi pipi hingga ke dagu.
Ia tumpahkan segala resah diri dan sebab mengapa ia begitu membenci cinta, aku terhenyak mendengar kisah pilu yang mengalir deras dari bibirnya, tanpa sengaja apa yang aku lakukan telah menyudutkan dirinya membangkitkan luka lama yang telah dikuburnya dalam dalam.
Rasa yang kini ada padaku terasa bias, bukan hanya sekedar ingin menjaganya, tapi juga terasa seperti aku ingin memenuhi ego pribadiku, memaksakan inginku, tawa yang sebelumnya selalu bisa membahagiakanku kini berubah menjadi sendu, niat ku untuk menjadi penawar atas luka lebih terasa seperti racun yang menyesakkan hati dan pikirannya.
Setelah perbincangan kami yang tak berakhir baik baik saja, ku coba mengingat kembali semua jawaban darinya yang sempat luput karena gejolak di dada, kucoba meresapi apa-apa yang telah diucapnya, semua kesakitan yang tercipta karena kisah asmara yang pernah dihadapinya, mulai dari perlakuan kasar manusia yang seharusnya menjadi cinta pertamanya, hingga rasa percaya yang pernah dititipkan pada laki laki pilihannya yang ternyata berbalas dengan luka.
Air mata jatuh begitu saja, jatuh tanpa suara yang disertai rasa menggelitik dan panas yang seketika muncul di dada, ku coba untuk tetap menahan rasa itu, kubawa bekerja dan rutinitas harianku, akupun terkejut dengan kenyataan yang sedang kuhadapi betapa kuat dan berat tubuh dan pikirannya menampung semua kesakitan ini sendiri.
Dan ketika ia sudah menemukan cara menyikapi rasa pahit yang kadung di alami, ternyata akulah sang keladi, manusia yang belum lama dikenalnya yang mencoba sekuat tenaga menghancurkan benteng kokoh yang telah susah payah di bentuknya.
Rasa bersalah yang kualami atas tindakan tanpa perhitungan matang yang kadung terjadi, membuat kepalaku berdenging, aku bingung bukan kepalang bagaimana aku bersikap padanya di hari-hari mendatang.
Di satu sisi aku ingin tetap berusaha memenangkan hatinya dan menjadi penawar atas luka, di sisi lain akupun akhirnya mengerti banyak hal sudah ia lalui untuk tembok tinggi yang ia bangun tuk lindungi diri dari racun yang sewaktu-waktu dapat menghampiri.
Teringat akan ungkapan yang kami berdua sangat sukai, "Apa yang melewatkanku tidak akan pernah menjadi takdirku, dan apa yang ditakdirkan untukku tidak akan pernah melewatkanku". Berbekal kata-kata itu kukuatkan hati ini, untuk merelakan dan menepikan diri.
Semoga waktu bisa membantu kami menemukan jawaban terbaik, untuk saat ini kami kembali menjadi dua manusia asing yang menjalani kehidupan sendiri, seraya berharap atas ketetapan yang akan Tuhan beri.