First love Mai

81 5 0
                                        



Di dalam kelas 12 IPS 1, Benz hanya menatap bosan ke depan. Seorang guru perempuan tampak antusias menjelaskan materi pelajaran, namun semua informasi itu seolah memantul begitu saja dari benaknya. Tidak ada satu pun yang berhasil masuk ke otaknya. Saat fokusnya terarah pada kebosanan di depan sana, tiba-tiba sebuah pulpen melesat dan mengenai dahinya.

"Aduh... dih, Ken, apa sih?" Benz mengeluh, mengusap dahinya yang sedikit nyeri.

Kennet, yang duduk dua bangku di depannya, menahan tawa dan menggerakkan bibirnya tanpa suara, membentuk kata-kata yang hanya bisa dibaca oleh Benz. "Bro, bosan banget gue, bolos yuk."

"Enggak mau gue," jawab Benz, menggeleng pelan.

"Ayolah, Bro..." Kennet terus membujuk.

"Ogah." Benz mengabaikan Kennet yang terus mengganggunya, memilih menatap kembali ke depan dengan tatapan hampa. Sebenarnya, sejak ia mengenal Garfield dan ditegur habis-habisan olehnya, Benz tidak lagi tertarik untuk membolos kelas. Teguran Garfield, entah kenapa, memiliki kekuatan yang tidak bisa ia abaikan.

Empat jam pelajaran berlalu tanpa disadari. Akhirnya, bel istirahat berbunyi nyaring, menyadarkan para murid yang lapar untuk segera datang ke kantin. Tidak terkecuali Benz, yang perutnya sudah berbunyi minta diisi.

Di bangku pojok kantin yang ramai, Benz duduk bersama teman-temannya. Tawa dan candaan riuh memenuhi area mereka. Namun, fokus Benz tiba-tiba teralihkan. Matanya menangkap sosok kakak cantiknya, Mai, berjalan sendirian menuju kantin. Benz tidak khawatir jika Mai sendirian karena tidak ada teman; yang Benz khawatirkan justru adalah apakah Mai benar-benar punya teman di sekolah ini. Jika tidak punya, ia bisa saja maju dan menemani saudaranya. Tapi, apa itu benar-benar hal yang perlu dikhawatirkan? Mai adalah gadis yang tangguh, ia pasti bisa menjaga dirinya.

Beberapa saat kemudian, Benz kembali melihat Mai membawa dua roti dan minuman di tangannya. Oh, ternyata Mai memang punya teman. Kenapa Benz justru tidak berpikir bahwa Mai mungkin dibully? Ck, Benz malah lebih khawatir kalau Mai akan menjadi gangster di sini, sialan. Alhasil, Benz yang sempat teralihkan fokusnya kembali bercanda ria di bangkunya, merasa sedikit lega.

Setelah membeli dua roti, Mai tidak langsung ke kantin. Ia pergi ke kelasnya, tempat ia bisa menemui satu-satunya teman yang selalu bersamanya di sekolah ini. Dari pintu kelas, Mai bisa melihat sosok siswa berperawakan tinggi yang duduk di bangku pojok sana. Sosok itu mengenakan kacamata berbingkai tebal dan tampak seperti siswa teladan, yang entah mengapa, Mai selalu menganggapnya sebagai temannya di sini.

Yah, bisa dibilang penampilannya agak culun, tapi tidak tahu juga sih kalau kelakuannya. Yang pasti, Mai selalu menganggap anak itu adalah temannya di sini, di sekolah yang masih terasa asing baginya.

"Aselee..." panggil Mai pelan, sembari meletakkan sebuah roti dan minuman di meja kosong di samping pemuda itu.

Merasa terpanggil, pemuda itu menoleh pada Mai. Wajahnya yang dingin tersenyum tipis, senyum yang jarang sekali ia tunjukkan pada orang lain. Ini adalah teman baiknya di sekolah. Sama-sama pendiam adalah kesamaan mereka. Padahal, kalau di luar sekolah, Mai sudah tidak bisa ditolong lagi cerewetnya.

Entah mereka benar-benar pendiam atau memang tidak mau banyak omong, yang pasti ya intinya sama. Mereka nyaman dengan keheningan satu sama lain.

"Makan nih roti, begini nih orang kalau sudah belajar sampai lupa kalau ini itu jam istirahat," Mai menegur, suaranya mengandung nada keakraban.

"Belajar itu kan penting, Mai...." jawab Lee, suaranya datar.

"Memang benar, Lee, kalau belajar itu penting. Tapi kan setiap manusia itu butuh istirahat, memang kamu kira Lee itu robot, hah?" Mai membalas, sedikit gemas.

Crush On You(GarfinBenz)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang