BLOOM
Seperti bunga Sedap Malam yang seakan memantulkan cahaya sinar bulan purnama, tidak semua bunga mekar pada siang hari.
Dinginnya lorong rumah sakit tak membuat remaja yang duduk di kursi roda itu terusik. Atau, bahkan hanya sekadar mengeratkan kaos kuning lengan panjang yang dikenakannya agar sedikit lebih hangat pun tidak.
Tatapan matanya kosong dengan jemari yang terus memilin ujung kausnya; merasa gugup sekaligus takut. Suhu tubuhnya menghangat seiring dengan kepalanya yang semakin pusing. Perutnya nyeri dan terasa mual lantaran sejak kemarin malam ia belum makan. Baju yang dikenakannya sekarang pun sudah kusut bercampur dengan bau keringatnya. Orang dengan watak keras pun kalau melihatnya pasti akan merasa iba.
Remaja laki-laki itu memperbaiki posisi duduknya di kursi roda. Mulai merasa tak nyaman lantaran sejak lima jam yang lalu ia tak beranjak dari posisinya sekarang. Hanya saja tempat duduknya itu sudah berkali-kali berpindah tempat berkat bantuan beberapa orang suster yang merasa iba padanya.
Kepalanya tertunduk dengan jemari yang masih setia memilin kaos. Seakan tak ada hal lain yang menarik hatinya atau pun bisa dia lakukan. Bibirnya pucat-kering dan tenggorokannya gatal; dia mungkin haus.
Sementara itu air matanya terus menetes dari pelupuk mata, menjatuhi sepasang tangannya yang tengah sibuk bermain-main dengan ujung kausnya. Bahkan denting jam, suara langkah orang-orang di rumah sakit itu, embusan napas seseorang, atau suara angin seakan mampu ia dengar dengan jelas untuk saat ini.
Sejak tiga jam yang lalu ia tak berani mengerakkan kepalanya menatap pintu di ujung lorong. Ketika ia pertama kali melakukan itu. Bagai ribuan es balok menghujani tubuhnya tanpa ampun; ada perasaan takut bercampur keputusasaan yang menghantuinya.
Lima hari yang lalu kedua orang tuanya berpamitan untuk mengunjungi saudara mereka yang tinggal di Tokyo yang tengah melahirkan. Sementara itu kedua orang tuanya membuat alasan kalau dia tak bisa ikut lantaran sebentar lagi ujian masuk sekolah menengah pertamanya.
Di mana itu akan menjadi sekolah formal pertamanya sejak kedua orang tuanya memutuskan memberinya home schooling sejak kecil. Lagipula ia juga tak begitu nyaman dengan keluarga besar kedua orang tuanya, jadi pilihan tinggal di rumah sendiri dengan anjing kesayangan ibunya adalah pilihan terbaik.
Dan seharusnya tiga hari yang lalu pula kedua orangtuanya sudah kembali pulang ke rumah. Tetapi, pada akhirnya mereka tak pernah kembali selamanya.
Selayaknya bunga yang tumbuh di dalam pot kecil dan tak bisa tumbuh sendiri di tanah luas tanpa bantuan seseorang, begitulah saat ini dirinya terpenjara dalam takdir yang menyakitkan.
Beberapa jam yang lalu, dirinya diberitahu tahu bahwa pesawat yang orang tuanya tumpangi dari Tokyo menuju Hakone mengalami kecelakaan. Semua penumpang dinyatakan tewas, termasuk keluarganya, tak ada secuil harapan pun untuk dirinya yang terus menggumamkan doa untuk kedua orang tuanya yang bahkan enggan mengakuinya sebagai anak.
Kenyataan lain yang menghantam dadanya adalah ketika keluarga ayah dan ibunya tak ada yang mau merawatnya meski pun harta sebagai jaminan, titel anak pembawa sial yang sudah melekat padanya sejak lahir terus tersemat hingga kini.
Bukan bela sungkawa yang ia dapatkan ketika ia tengah berduka, melainkan cacian dan hinaan yang keluarga besarnya lontarkan padanya. Titel membawa sial kini bersanding dengan titel baru.
Pembunuh.
Aneh. Padahal dia tidak melakukan apa pun yang dapat melukai siapa pun.
Itu juga yang membuatnya kini semakin gugup; kedatangan orang baru.
KAMU SEDANG MEMBACA
AISHITERU | LE'V ~ KEITA
FantasyLevi Wang membenci orang asing bernama Terazono Keita yang orang tuanya bawa untuk tinggal di rumah mereka dengan alasan sebelah kaki Keita yang lumpuh, tapi setelah semua hinaan dan cacian yang Levi berikan untuk Keita kenapa laki-laki itu justru a...