"Gue suka sama lo, Satya."
Aku menatap laki-laki itu dengan pandangan memburam, dadaku serasa dihantam kuat-kuat oleh benda tak kasat mata yang membuat tarikan napasku menjadi berat. Sesak memenuhi dengan tenggorokan tercekat menahan air mata.
"Lima tahun, selama itu gue menyimpan perasaan buat lo. Mungkin setelah ini lo bakal menjauh dari gue, Sat." aku menghapus air mata kasar, berusaha menarik sudut bibirku agar tidak terlalu menyedihkan di depan laki-laki yang sangat aku sayangi.
Ini keputusan, dan aku tidak boleh menyesali apapun. Tanganku gemetaran saat kupandangi wajahnya tak bereaksi apa-apa. Mungkin setelah ini semua akan berbeda, Satya akan menjauhiku atau akan berpura-pura tidak mengenaliku sama sekali.
"Senandika. Maaf, tapi lo terlalu baik, rasa sayang lo engga pantas buat lo kasih ke gue."
Aku memandangnya dengan pandangan terluka. Bahkan untuk menolak pun, Satya masih berusaha untuk tidak melukai perasaanku. Harusnya, dari awal aku menyadari posisiku, bahwa aku tidak lebih hanya sekadar teman yang dia jumpai setiap hari di sekolah, seorang teman yang tanpa sengaja menaruh perasaan yang begitu besar padanya.
Katakanlah bahwa aku terlalu berani mengambil resiko, seorang Senandika yang mencintai diam-diam teman sejak SMP nya, kini berdiri dengan kekuatan yang entah aku dapatkan dari mana. Aku tertawa sumbang, bersamaan dengan air mata yang lagi-lagi membasahi pipiku, dan dengan pandangan Satya yang berubah prihatin.
"Maaf, Sen."
Aku menggeleng. "Hey, kenapa minta maaf? gue cuma mau ngungkapin perasaan gue aja. Tenang aja Satya, gue ngga bakal maksa buat lo balas perasaan gue."
"Yang penting kita tetap teman, kan?" kataku lagi.
Aryasatya mengangguk dengan senyumannya. "Iya, Sena."
Aku menarik napas lega, walaupun rasa perih itu masih enggan hilang, tapi mendengar jawaban Satya membuatku sedikit lebih baik. Aku tidak ingin dia menghilang, aku masih ingin melihatnya ada di sekitarku walaupun mungkin nanti akan terasa berbeda.
Ini jawaban dari perasaanku, kenyataan bahwa selama bertahun-tahun aku hanya cinta sendirian membuat semesta kasihan melihatku. Aryasatya mempunyai kehidupan yang sama sekali tidak bisa kutembus, jadi tidak ada yang bisa kulakukan selain memastikan bahwa dia baik-baik saja dari kejauhan.
Ibu, Abang, maaf tapi kali ini rasaku berakhir dengan kekecewaan.
Gerimis menjemputku saat kuputuskan untuk keluar dari pintu kafe. Iya, tadi aku yang menghubungi Satya untuk datang, berkata bahwa ada hal penting yang ingin kubicarakan. Untuk Satya, katanya dia masih ingin duduk di sana, sempat menawarkan diri untuk mengantarku pulang tapi kutolak. Rasanya aku sudah tidak ingin berlama lama dengannya.
Langit mengelabu, jalanan basah sisa hujan semalam membuatku menarik napas panjang. Kulirik arloji di pergelangan tanganku, hari menunjukkan pukul empat sore, jalan raya sudah mulai padat.
Kususuri tepian jalan raya dengan kepala yang dipenuhi oleh berbagai pertanyaan. Apa aku harus beranjak pergi dan melupakan Satya? Atau, haruskah aku menunggunya sekali lagi sampai nanti waktu memihak padaku dan Satya berbalik menyukaiku? Tapi, apa semua itu tidak terlalu mustahil untuk aku jadikan sebuah pengharapan?
Ting!!
Rasanya jantungku yang sejak tadi berdetak tak karuan hampir meloncat dari tempatnya bersemayam, aku tersentak kaget saat bunyi klakson berbunyi nyaring tepat di sebelahku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Untukmu Arjuna
RandomKepada dia yang masih menjadi bagian dari isi bumi Hidup dalam Delusi ciptaannya sendiri, berdiri dalam ruang kosong, menunggu dengan perasaan yang terabaikan. Untukmu sang penghuni ruang, sejak awal kedatanganmu hendak menetap, atau hanya mencari t...