Lizzebeth, atau yang akrab disapa Liz, sejak tadi tak henti tersenyum mematut dirinya di depan kaca. Memutar tubuh dengan lembut ketika sebuah gaun pertunangan tengah melekat erat di tubuhnya yang sintal dan jenjang. Gaun ini begitu cantik, meski desainnya simpel dan sederhana.
Ini kesukaannya. Tidak terlalu heboh dan mewah. Dan ekspektasinya kali ini memang tidak meleset. Gaun berwarna broken white ini sangat elegan memeluk dirinya.
"Kamu cantik sekali." Puji salah seorang karyawan yang membantunya melakukan fitting hari ini. Pipi Liz memerah malu.
"Benarkah? Aku tidak terlihat aneh dan norak, kan?" Tanya Liz sedikit cemas. Ia memang tidak begitu percaya diri dengan penampilannya sendiri.
Gadis bernama Beth itu terbelalak dan menggeleng kencang. "Hanya orang tidak waras yang mengatakan kalau dirimu aneh dan norak. Percayalah, kamu calon pengantin tercantik yang pernah kutemui selama aku bekerja di butik ini, nona Liz."
Lagi-lagi Liz tersipu malu mendengar pujian dari Beth. "Terima kasih banyak." Tukas nya tulus.
Aura calon pengantin memang terpancar begitu kuat dari dirinya. Liz tidak pernah merasa secantik ini selama dua puluh tujuh tahun dirinya hidup di dunia. Wajahnya berseri, matanya berbinar, pun dengan anggota tubuh yang seolah mendukung penampilannya. Rambutnya panjang dan terurai lembut menutupi punggung. Kulitnya semakin pucat seiring waktu. Pun dengan buah dada nya yang kini terasa lebih besar. Entahlah, semua terasa cocok dengan gaun yang ia pakai kali ini.
Dengan gugup, Liz lantas mengambil potret dirinya dan iseng mengirimkan foto tersebut kepada Brent, calon suaminya.
'Bagaimana menurutmu? Apakah gaun ini cocok untukku?'
Liz terdiam menunggu balasan dari Brent yang ternyata datang tak sampai satu menit.
'Oh God, apakah ini kamu, sayang? Kamu terlihat luar biasa cantik! Calon istriku sangat cantik. Aku tidak sabar ingin pulang, tapi rapat sialan ini tidak juga selesai.'
Liz terkikik membaca balasan dari Brent yang berujung keluhan dengan rapat yang tengah ia lakukan dengan para karyawannya. Sedikit banyak ia lega karena Brent tidak kecewa dengan desain pilihannya yang tergolong sederhana.
Sejujurnya, Liz tak menyangka kalau ia dan Brent bisa melangkah sejauh ini. Brent dan dirinya tentu berbeda lingkungan. Calon suaminya itu terbiasa hidup dengan sendok emas di tangannya sejak lahir. Berbanding terbalik dengan dirinya yang menjalani hidup dengan cukup sulit. Pertemuan tak sengaja mereka di kampus bertahun-tahun silam rupanya menjadi jembatan bagi mereka untuk saling terikat dan menuju ke jenjang lebih jauh, seperti saat ini.
Helaan napas panjang Liz lakukan beberapa kali. Menetralisir kegugupan menjelang acara resmi pertunangannya.
"Sudah cukup?" Liz menatap pantulan Beth dari kaca. Ia tersenyum dan mengangguk.
"Sudah. Calon suamiku sudah mengamuk karena ingin segera pulang dan menemuiku." Kekeh Liz sembari membiarkan Beth membantu melepas gaun tersebut.
Beth tersenyum lebar. "Awas hati-hati. Biasanya di balik amukan itu, ada misi tersembunyi laki-laki. Kamu tentu tahu apa maksudku, nona Liz."
Liz terkekeh dan mencubit lembut lengan Beth ketika gadis itu berhasil melucuti gaunnya. Dengan cekatan, Liz sudah kembali memakai pakaiannya. Summer dress berwarna kuning cerah.
"Kamu mau pulang sekarang?"
"Ya. Aku harus ke toko. Ada orderan yang akan di pick up sore ini." Sahut Liz sambil menyampirkan tali tas sling bag nya di pundak. "Terima kasih banyak Beth. Aku pergi dulu. Nanti gaunnya akan kuambil sebelum hari pertunanganku tiba." Liz melambaikan tangan sembari berlalu meninggalkan butik. Ia melangkahkan kaki dan hendak menuju mobilnya.
Ia harus segera ke toko dan mempersiapkan pesanan yang akan diambil sore ini. Meski banyak pegawai, namun Liz lebih senang jika ia bisa menghandle dengan tangannya sendiri setiap pesanan yang masuk ke toko kue miliknya.
Melirik sekilas jam tangan yang melingkari pergelangan tangan, Liz menimbang waktu jika ia mampir sejenak ke supermarket untuk membeli beberapa persediaan dapurnya yang mulai menipis. Liz lantas memutuskan untuk mampir ke supermarket karena masih ada tenggat waktu dua jam lebih sebelum pesanan itu diambil.
Untung nya, di dalam supermarket kali ini suasana cukup lengang. Tidak ada antrian mengular di kasir, yang artinya, ia tidak perlu menghabiskan banyak waktu hanya untuk mengantri membayar belanjaan.
Hal pertama yang Liz masukkan ke keranjang nya adalah daging dan juga protein lain seperti ikan dan juga ayam. Tak lupa juga rempah dapur yang ia butuhkan serta beras dan pasta sebagai pelengkap belanjaan. Ketika melewati area rempah dan bumbu dapur, Liz sedikit kesulitan mencari stok garam yang biasa ia pakai di rumah. Ia bingung dan berupaya menanyakan stok kepada pegawai supermarket, namun mereka mengonfirmasikan kalau stok garam tersebut habis.
Jujur, Liz tidak pernah mengganti merk garam atau apapun yang sudah terlanjur ia pakai. Dan meskipun di supermarket lain tentunya memiliki stok yang ia inginkan, namun mengunjungi supermarket lain hanya untuk membeli garam tentu hanya membuang banyak waktu.
Disaat ia sedang bimbang, sebuah uluran tangan dengan sebotol garam yang ia cari terulur tepat di depan tubuhnya.
"Apa kamu mencari ini, nona?"
Liz mendongak. Netranya tepat bertatapan dengan netra sekelam malam yang menatapnya tajam bagaikan elang. Dengan gugup, Liz mengangguk.
"Iya. Aku mencari garam itu. Tapi stoknya habis." Jawabnya lembut. "Aku mungkin harus mencari ke supermarket lain."
Sosok di hadapannya berdiri menjulang. Dan Liz bersumpah, lelaki ini bahkan lebih tinggi dari Brent yang memiliki postur seratus delapan puluh lima sentimeter! Oh ya Tuhan, Liz yang hanya memiliki tinggi seratus lima puluh lima bagaikan kurcaci ketika berhadapan dengan lelaki di hadapannya ini.
"Tidak perlu. Kamu bisa mengambil ini."
Liz membelalak dan menggeleng cepat. "Eh tidak usah. Sungguh, aku bisa mencari nya di toko lain."
Lelaki itu masih kukuh mengulurkan botol garam incaran Liz. "Ayo, terima saja nona. Lagipula ini hanya garam. Aku bisa membeli merk yang lain."
"Tapi..."
"Ini, ambil lah." Lelaki itu meraih tangan Liz dan menggenggamkan botol itu. "Jangan merusak rules ku menjadi gentleman sejati hanya karena garam nona."
Liz menatap botol garam itu dan menggenggam nya. Menatap lekat wajah lelaki yang memiliki helai keperakan di rambutnya. "Kamu yakin?"
"Sure. Tidak menjadi masalah. Aku bisa mencoba merk garam yang lain."
Liz menatap cukup lama wajah lelaki itu. Dan ini aneh, karena dirinya tiba-tiba meremang hanya karena lelaki itu juga menatap balik dirinya dengan intens. Cepat-cepat ia menundukkan kepala dan bergumam.
"Kalau begitu, terima kasih banyak ya. Dan maaf merepotkan."
Lelaki itu tak segera menjawab. Ada jeda yang cukup lama hingga Liz harus mendongakkan kepala untuk menatapnya. Menatap wajah yang sangat terpahat apik di setiap sisi nya.
"Sama-sama nona. Senang bertemu denganmu." Tukas nya dengan suara yang sangat maskulin. "Kuharap lain kali kita bisa bertemu lagi."
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
MINE
RomanceLeon tak pernah sekalipun merasakan perasaan menggebu seperti ini. Perasaan ingin memiliki. Bahkan tidak juga ketika ia bersama dengan sang mantan istri. Tidak sampai ia bertemu seorang gadis. Gadis yang akan membuat kehidupannya porak poranda jika...