Hari ini Minggu Pagi Kisara di kediaman keluarga Wiyasa. Bukan hal yang asing, malah menjadi asing jika hari penghujung pekan itu tanpa kehadiran Kisara. Setiap minggu pagi saat matahari masih mengintip malu untuk membuka hari, Kisara sudah berjalan bersama Nyonya rumah Wiyasa menuju pasar dekat komplek perumahan.
Lalu Kisara akan menghabiskan seharian waktu liburnya bersama dengan keluarga Wiyasa yang merupakan tetangga persis sebelah rumahnya.
Bukan tanpa alasan, Kisara hidup seorang diri di kota ini. Ibunya meninggal sekitar 5 tahun lalu, dan Ayahnya yang kelewat cinta dengan Ibunya menyusul sang Ibu setahun berikutnya. Ibu dan Bunda -panggilan Nyonya Rumah Wiyasa- berteman akrab, kemalangan yang menimpa Kisara tentu menjadi perhatian lebih bagi Bunda.
Kisara memiliki seorang kakak laki-laki yang memboyong istrinya ke luar negeri untuk menetap disana karena alasan pekerjaan. Keluarga Kisara yang lain tinggal jauh di luar kota, dan memutuskan untuk menetap di rumah orangtua adalah pilihan tepat karena Kisara juga sudah bekerja di kota ini.
Hal ini membuat keluarga Wiyasa ketambahan satu putri yang tinggal disebelah rumah.
Kisara tengah menata meja makan bulat yang kini memiliki 5 kursi, karena sebelumnya hanya berisi 4 kursi sesuai jumlah keluarga Wiyasa. Semenjak kesendirian Kisara, kursi utama meja makan jadi bertambah 1.
Langkah tenang Junadi menuruni tangga menjadi perhatian Bunda yang sibuk mengaduk Sop untuk sarapan keluarga mereka.
"Adekmu mana Mas?"
"Masih mandi," Junadi mendekati sang Bunda, hanya berdiam diri, tidak melakukan apapun. Hal yang biasa Ia lakukan, memperhatikan masakan Bunda yang tengah diaduk, dan dicicip untuk menyesuaikan rasa.
"Misi Mas," tubuh Junadi mendekat ke dinding setelah mendengar teguran Kisara. Wilayah dapur memang terbilang sempit dibanding ruang lainnya. Keberadaan Junadi yang tentu tidak kecil cukup mengganggu mobilitas Kisara yang harus bolak-balik menata meja makan.
Adi -nama panggilan Junadi- dan Kisara adalah teman sebaya. Adi lebih tua 6 bulan dibanding Kisara. Mereka tumbuh dan besar di lingkungan yang sama, bahkan lulus dari sekolah yang sama. Kenal sejak baru bisa mengucap bahas bayi.
Dikatakan berteman dekat-pun tidak, mereka jarang mengobrol kecuali memang diperlukan. Namun tidak ada kecanggungan diantara keduanya.
Alasan Kisara memanggil Adi dengan sebutan Mas hanya karena Ia terbiasa sejak kecil dimana Ibu dan Bundanya membiasakan Kisara kecil untuk memanggil laki-laki yang hanya 6 bulan lahir lebih cepat dibanding dirinya itu dengan sebutan Mas.
Kisara sibuk sendiri, menuang tempe goreng yang sudah ditiriskan untuk ditaruh ke piring saji. Geraknya cekatan, terbiasa dengan Bunda yang kerja cepat. Ia sibuk sendiri dan tidak menyadari dengan mata Adi yang terus mengikuti tiap gerak dan langkah tubuhnya.
Kisara mungkin tidak menyadarinya, tapi tidak dengan Bunda yang melahirkan dan mengetahui dengan jelas segala gerak-gerik putra sulungnya.
"Ngeliatin apa Mas?" Bunda mematikan kompor setelah sup ayam buatannya mendidih. Adi yang semula menitik fokus pada Kisara yang sudah kembali sibuk menata meja makan, kini menatap Bunda.
"Kalo Kisara jadi mantu Bunda, Bunda mau enggak?"
Nada bicaranya kelewat enteng untuk membahas materi seberat meminang anak gadis orang. Bunda mengerutkan dahi kemudian menatap putra sulungnya penuh selidik.
Namun tidak tampak raut ragu sedikitpun di wajah putra sulungnya.
"Tanya aja anaknya, mau jadi mantu Bunda enggak?"
Kali ini Adi yang mengerutkan dahi. Semudah itu?
Dari beberapa deret gadis yang Adi bawa menemui sang Bunda, tidak pernah ada restu dari Bunda. Entah asal usul, cara bicara, tindak-tanduk, rasanya semua gadis yang Adi bawa selalu dibawah standar sang Bunda.
KAMU SEDANG MEMBACA
5 Langkah dari Rumah | Bluesy Ver [END]
FanfictionIni adalah seri [Bluesy Ver] "Nikah Yuk!" Ini perihal Junadi yang mengajak Kisara menikah. "Mas, Mas. Kamu ngajak perempuan nikah udah kayak ngajak ke warung depan gang," Bunda Junadi sendiri keheranan dengan tingkah anak sulungnya. Yang menjadi mas...