Kakek Jiro

760 38 5
                                    

NB : latar belakang bukan di Korea ya. meski nanti ada kata yang seperti jaman kerajaan anggep aja peralihan dari jaman. jadi campur-campur

* * *


Kakek tua itu setiap petang sebelum matahari terbit selalu datang ke ujung tebing dibelakang sekolah. Dia selalu duduk berdiam disana kadang berjam-jam, setelah matahari nampak dia pulang kerumah melanjutkan aktifitas seperti biasa. Seperti itu hingga bertahun-tahun lamanya. Banyak yang mengatakan bahwa dia adalah pasukan Aunkai (karena wajahnya seperti bukan orang kebanyakan) yang dibuang ke kemari ketika berperang, adapula yang mengatakan bahwa dia melarikan diri dari pasukannya dan menetap dinegara ini. Sepanjang hidupku, aku hanya melihatnya tanpa menyapanya. Hanya mengangguk ketika bertatapan mata saja. Ah, apa itu dikatakan sebagai menyapa? Entahlah.

Rupa kakek termasuk tampan meski sudah tua. Tentu, namanya saja sudah kakek-kakek. Orang-orang menyebutnya kakek Jiro. Aku tidak tau dan bahkan para warga disini juga tidak tau siapa nama lengkapnya. Ketampanan kakek Jiro terkenal juga karena orang itu suka menyendiri. Rumahnya berada 500meter dari ujung tebing yang biasa dia datangi. 300meter dari rumahku. Bagaimana aku tau? Mmm... bagaimana ya, aku hanya mengira-ira saja. Disini tiap beberapa meter ditanami pohon untuk penghijauan, dan tiap taun akan dijual lalu diganti lagi dengan yang baru. Aku tidak tau apa namanya, ku rasa tidak penting.

" Renjun, cepat ganti bajumu! Jangan bengong saja, cepat lekas bantu ayahmu ke ladang. " ibuku sudah berteriak ramah dari lantai satu rumah kami.

" Iya bu, sebentar. " balasku juga berteriak agar bisa didengar. Maklum saja ya, rumah kami memang berisi orang-orang 'kalem'. Aku segera bergegas mengambil kaos paling atas dari lemari dan memakainya, tidak lupa juga bawahan juga. Lalu beranjak ke lantai satu, disana aku sudah dinyanyikan lagu nasional lagi oleh ibuku.

" Kenapa sih setiap hari kerjaanmu bengong saja memandangi kakek-kakek tua itu. Apa kau menyukainya? Katakan! Biar ayahmu datang padanya dan menikahkanmu dengannya. " ini adalah salah satu bait nyanyian ibuku.

" Duh ibu, apasih! Aku hanya kasihan melihatnya mengambil air setiap hari dan melakukan hal sendirian. Tanpa keluarga. " balasku beralasan.

" Lalu kenapa kau tidak kasihan pada ayahmu ini? Kau selalu membuat masalah. Setiap bulan pasti ada satu panggilan ke sekolah, bahkan ayah sampai lelah. " tutur ayahku merajuk.

Ya memang, hampir setiap bulan orang tuaku dipanggil ke sekolah karena keluhan dari wali murid lain yang anaknya aku hajar. Meski tubuhku termasuk kecil tapi aku tidak takut siapapun dan tunduk pada siapapun. Kecuali orang tuaku, terutama ibuku yang 'lemah lembut' ini. Bakat mengomelku adalah turunan darinya. Teman-teman yang ada disekolah kadang sampai sebal, katanya. Padahal kan, aku ini sangat imut. Benar, kan?!

" Itu karena mereka yang menggangguku ayah! Mereka suka sekali menjahiliku dan menghinaku. Mereka bilang aku pendek. Tubuhku tidak pendek! Bahkan lebih sedikit dari rata-rata para siswi perempuan disekolah. Bukannya itu masih wajar?! Aku tidak suka dikatai pendek karna aku memang tidak pendek! " jawabku membela diri.

" Kau lihat.... anakmu ini. " ibu masih berkeluh kesah pada ayah.

" Sudah, sudah. Ayo cepat pergi ke ladang. Nanti kalau kesorean kita pulangnya kemalaman. Hari ini harus bisa dapat upah yang banyak. Semangat! " ayahku seperti biasa akan selalu begini.

Ayah bekerja menjaga perkebunan kopi sekitar tebing kakek Jiro tapi kami biasa mengatakannya 'ladang' karna ukurannya yang hanya beberapa hektar saja. Kadang aku membantu jika ada yang harus dipanen saja, lumayan uangnya bisa ku gunakan untuk membeli buku atau tambahan uang saku. Sial untuk hari ini karena kemalaman. Itu karena ada 'insiden' babi hutan yang mengobrak-abrik ladang yang kami jaga. Kami harus menangkapnya dan harus bersusah payah membenahi kerusakan ladang. Si pemilik ladang orang yang baik tapi sedikit tempramental. Dia jelas tidak tinggal diam. Dia membawa kerumunan desa untuk memburu babi hutan yang merusak itu. Tentu orang-orang ikut membantu karena kebanyakan dari mereka juga dirugikan jika babi-babi itu turun mencari makanan. Aku hanya berjaga dibelakang kelompok menjadi pembantu membawa obor. Huh~! Gelap sekali. Mataku menyipit melihat pergerakan disebelah kiri, agak jauh sekitar lima orang dewasa sebagai pembatas kami. Itu dia! Anak laki-laki gendut yang kemarin lusa aku hajar! Anak yang suka menggangguku disekolah, termasuk anak yang kaya didesa kami.

Oneshot [ II/III ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang