Chain Reaction

69 14 6
                                    

Brak!

Pemuda mungil yang sedang terduduk di ranjang pondok penyembuh terlonjak kala pintunya menjeblak terbuka. Disana berdiri seorang pemuda pirang dengan napas berderu marah.

Max menghentak langkah ke arah orang itu lalu mencengkram kerah sweaternya erat. Jarum infus yang baru dipasang di tangannya sampai terlepas meninggalkan tetesan darah dari luka infus.

"Aku tahu kau sebuah masalah."

Tatapan matanya begitu tajam, melubangi kepala si pemuda gemetar jika memungkinkan. Sedangkan yang lebih mungil tercekat napasnya akibat kerah sweater yang ditarik begitu kuat. Air mata berkumpul di pelupuk mata rubah si pemuda mungil.

"MAX!" 

Tubuh Max didorong Jake kuat-kuat. 

David, Stephanie dan Connor berbondong-bondong datang ke pondok penyembuh membantu melerai. David meringis menyesal, seharusnya ia tidak memberitahu Jake di ruang terbuka, mereka tidak tahu Max masih ada di sekitar.

Connor langsung menahan bahu Max yang terus hendak menghajar orang itu.

"Kita belum tahu kebenarannya, Max! Tidak bisakah kau waras untuk sebentar saja?!" Bentak Jake, ia mendekap erat pemuda mungil yang menangis untuk menjauhkannya dari jangkauan Max.

"Jika hanya satu orang yang melihat aku mungkin tidak akan percaya tapi dua! Dua orang, Jake! Dan kau masih mempertanyakan kebenarannya!?"

"Tolong keluar, Max."

"Dan menyia-nyiakan kesempatanku untuk memberi pelajaran pada pembunuh it—"

"KELUAR!"

Orang-orang berjengit mendengar sahutan menggelegar chief mereka yang sangat-sangat-sangat jarang terdengar. Dan Connor tahu mereka tidak seharusnya membuat masalah dengan sahabatnya disaat seperti ini, jadi dengan sedikit memaksa ia menuntun Max dan semua orang keluar.

Pemuda yang sedari tadi gemetar parah dalam dekapan Jake ternyata sudah menangis. Dengan segera Jake menangkup wajahnya, melihatnya tersedu sampai sesak napas.

"Ar.. hah.. hah.."

"Bernapaslah, bernapas..."

Tapi pemuda itu membangkang, ia tetap membuka mulutnya berusaha berbicara, "Ar..."

"Hei, hei, jangan."

"Arch ... hi ..."

Suaranya terlalu lirih namun Jake seperti mendengar sebuah kata. Ia mendudukkan pemuda itu kembali ke ranjang kemudian berlutut di hadapannya. Jake mengambil kapas bersih untuk membersihkan luka infus si pemuda.

"Bisa kau ulangi?" Ia mengambil plester, membukanya dan dengan lembut menempelkannya di punggung tangan yang lebih mungil.

"Archie ... nama ... Archie."

"Archie?"

Mendengar Jake menyebut namanya membuat pemuda itu semakin dibanjiri air mata, ia mengangguk sembari tersenyum. Tubuhnya membungkuk mendekap Jake kembali.

"Jake! Hiks... Jake!"

Jake bingung, satu sisi itu menggelitik bagian otaknya seolah ada stimulus yang tidak tersampaikan. Namun di satu sisi ia bingung harus berbuat apa, ia tidak mengenal pemuda bernama Archie ini sama sekali. Semua orang berduka hari ini, namun bisa-bisanya Archie tersenyum begitu lebar saat Jake menyebut namanya.

Dengan agak memaksa Jake melepas pelukan itu, "Aku tidak mengerti, apa yang kau ingat tentang dirimu, Archie?"

"Banyak! Hiks... kepalaku sakit!"

Dream labTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang