Bab 25

176 16 11
                                    

Part 25
1745 Kata

Menjadi atlet, mau tidak mau harus menjaga image tubuh, kesehatan, serta kebugarannya. Menyelesaikan sesi treadmill, sudah hampir setengah jam Hakim hanya terlentang menatap langit-langit, membiarkan kumpulan lagu French Montana berulang menemani lelah hembus napasnya.

"Lain kali tak akan kubiarkan masuk seenak jidatmu," ujar Hakim tatkala Demian datang. Hakim bisa menebaknya begitu mudah karena asap rokok pemuda itu yang mengepul.

"Kalau aku jadi kau, lebih baik tak usah. Vodka?" sahut Demian berhenti berjalan sejenak sambil menatap Hakim yang masih terlentang dan hanya memalingkan wajah.

"Kau punya restoran sendiri, pergi sana!"

Demian hanya tersenyum miring lalu berjalan menuju sarang rahasianya. Bagian yang paling Hakim tak suka ialah dia jarang sekali bahkan tidak pernah membersihkan dapur kalau sudah mencari barang incarannya. Makan, minum, piring, gelas tergeletak begitu saja yang kadang membuat Hakim geram.

Derap langkah ringan--siapa lagi kalau bukan Ibrahim--menjadi objek kedua yang Hakim temui hari ini. Ia bahkan tak keluar rumah sama sekali. Pagi hingga siangnya ia habiskan tidur, setelah semalaman menelpon Selma membuatnya merasa insomnia dadakan.

Ibrahim tampil kasual seperti biasa, tapi Hakim mampu merasakan energi pemuda ini akan pergi berkencan atau semacamnya.

"Inca, private room, klien. Wanna join?" ucap Ibrahim seolah menjawab pertanyaan gaib Hakim sekalian menawarkan makan malam.

"Penyanyi ulung Amsterdam. Sialan, dia bisa saja menemukan diriku di London."

Ibrahim tiba saja terkekeh sambil menjelaskan klien yang ia maksud, bahwa mereka meminta sedikit gubrakan pada kriteria musiknya. Tentu saja Hakim tidak terlalu paham akan hal itu. Menikmati musik memang menjadi rutinitas, tapi untuk memahami proses produksi dan tetek bengek, ia rasa jauh dari bakatnya.

"Kau mengajaknya ke Inca, tapi dia sudah seperti tikus di dapur." ucap Hakim menggeleng pelan lalu bangkit dan mengambil handuk bekas olahraganya tadi. Ia tak perlu pusing-pusing memikirkan tabiat Demian jika sudah menginginkan sesuatu. Dia sebenarnya gigih kalau waras, sisanya tergantung perasaan dan jiwanya.

"Whole night?" tanya Hakim memastikan apakah mereka akan makan malam saja atau berada di sana seperti biasa.

"Tergantung nanti. Akan kuantar pulang asal tidak mabuk saja."

"Aku tidak sedang stres, mate!" Hakim menyunggingkan senyum miring sekaligus memberi jawaban sarkas meskipun ia tak tersinggung sama sekali.

Kedua pasang mata itu kemudian menatap Demian yang kembali muncul setelah--sepertinya--betul-betul mengobrak-abrik isi dapur. Kedua tangannya terangkat sambil memasang muka datar. "Di mana?"

"Dia tidak menyimpan Vodka lagi, kawan. Berhentilah mencari di sini."  Ibrahim berkata demikian lantas meninggalkan Demian menuju ruang depan.

"Tidak atau tidak sedang? Maksudmu, ah, pasti karena istrinya," ujar Demian membuntuti langkah Ibrahim.

"Lamya pantas menjadi alasan. Dia menyimpan minum-minuman itu karena berkawan denganmu!"

"Jelas tidak! Aku sudah tahu sifatnya. Katakan padaku, dia sudah melakukannya sejak dulu, bukan?"

Rasanya Ibrahim ingin sekali memaki Demian yang bersikap jahil dan sok tahu begini. Ditambah lagi kalau memikirkan banyaknya pengaruh buruk akibat bergaul dengan Demian dan se-spesies-nya--yang sebetulnya justru menguntungkan Ibrahim.

Beberapa musik garapannya tak lain dan tak bukan merupakan kenalan Demian, yang entahlah, Ibrahim tak tahu, apakah manusia itu bersosialisasi sekaligus berpromosi atau bagaimana. Ibrahim dan Hakim mendapatkan banyak kenalan di London, itu semua juga sedikit banyaknya karena pengaruh Demian. Mereka berdua tidak bisa membenci manusia itu barang sekecil pun, meski sifatnya yang sinting dan kadang membuat geram.

Hakim & LamyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang