...
"Pernikahan. Marsha dan Azizi akan menikah, dalam waktu yang tidak lama lagi. Iya, kan, Marsha?" Papa menoleh pada Marsha yang mematung di tempat.
Terjadi keheningan yang amat lama. Marsha menatap Papa dengan tatapan tak percaya, sementara di sampingnya, Oniel menatap Marsha dengan tajam seperti sedang menguliti gadis itu.
"Iya, kan, Marsha?" Papa mengulang, berharap bahwa Marsha akan menganggukkan kepalanya. "Marsha?"
"Sha!" Seru Oniel.
Marsha terperanjat, napasnya menderu dengan cepat, dadanya berdetak khidmat dan... Marsha yakin bahwa hari ini adalah kiamat.
"Om Djatmiko, maaf, saya enggak bisa lama. Semoga cepat sembuh." Oniel tersenyum dengan sopan, melepas tangannya yang digenggam dengan Marsha secara kasar dan pergi meninggalkan kamar dengan deru napas penuh dendam.
"Papa... Marsha mau menyusul Oniel sebentar. Permisi."
Papa mengangguk dengan bingung, menatap dua insan yang pergi berlalu dari ruangannya.
Kepala Marsha tiba-tiba berputar, merasakan pening ketika langkah kakinya ia paksa dengan segera untuk menyusul Oniel yang melangkah besar-besar. Marsha terus melangkahkan tungkainya, berharap di tangga ujung ia bisa menangkap tangan Oniel dan mereka bisa berbicara.
Berhasil.
Marsha berhasil meraih tangan Oniel di pijakan tangga terakhir mereka turun, sementara tangan Oniel melepaskan dengan kasar dan Marsha hampir jatuh, mereka berhenti dengan deru napas dan gemuruh yang ganas. Mata Oniel menyala dengan tajam menatap Marsha yang masih mengatur napasnya.
"Apa?" Tanya Oniel dengan mata merah kecewa.
Bibir Marsha bergetar, hendak menangis menatap tatapan kecewa seperti itu. Tapi, sebisa mungkin ia tahan gerimis yang akan turun beberapa detik yang lalu, kerongkongannya begitu kering dengan ulu hati yang nyeri, jangan tanyakan ada di mana posisi jantungnya sekarang, mungkin sudah tertimpa reruntuhan yang baru saja hancur beberapa saat yang lalu. "Sumpah, aku enggak tahu kenapa Papa ngomong kayak gitu—"
"Bohong."
"Niel, Demi Tuhan, aku enggak tahu."
"Berapa puluh kebohongan lagi yang harus gue percaya, Sha?!" Oniel membentak dengan suara yang begitu tinggi, melengking masuk ke telinga Marsha. Marsha tidak marah, ia merasa pantas mendapat perlakuan seperti itu sekarang, tapi, air matanya tidak bisa berdusta, mengalir dengan keras setelah ia terperanjat. "Gue udah muak, Marsha."
"Aku beneran enggak tahu, Niel. Aku juga baru tahu sekarang, Azizi enggak pernah—"
"Peduli setan sama si anjing itu! Harusnya lo enggak bego, lo tahu akhir dari ini semua ke mana. Lo nahan dia terus, lo ketemu sama dia terus, lo main di belakang gue. Terus dengan enaknya lo ngomong lo enggak tahu apa-apa?!"
"Aku..."
"Seneng kan lo sekarang, bisa kawin sama laki yang lo impiin selama ini." Oniel tersenyum sinis.
"Niel!" Marsha menggertak. "Aku enggak pernah mikir kayak gitu, ya, selama ini. Aku baru bisa ke sini juga sekarang, aku enggak tahu—"
"Oh iya? Gue harus percaya?" Oniel bercekak pinggang, rambutnya berantakan sekali.
"Ya."
"Kalau gitu sekarang kita balik lagi ke sana, kita bilang sama bokapnya Azizi kalau gue sekarang pacar lo dan kita bakal nikah." Oniel menyeret paksa tangan Marsha untuk naik lagi ke tangga.
"Enggak bisa sekarang." Marsha dengan sisa tenaganya melepaskan genggaman tangan Oniel. "Kamu enggak lihat kondisi Papa kayak apa? Aku enggak bisa ngomong sekarang. Aku takut kondisi Papa—"
KAMU SEDANG MEMBACA
PENDULUM (BOOK II)
FanfictionZeesha / (BOOK II) Ironis. Mereka melanjutkan hidup dengan ganjalan bayang masa lalu yang perih. Masih dengan sandiwara, pun penuh pura-pura. Kali ini, Marsha Soenarjo membuka pintu neraka. ----------------------------------------------------