1. The Day

3 0 0
                                    

Gadis itu—Iris Greisy Interstella—kini tengah mengecek penampilannya sekali lagi. Sejak tadi nafasnya tak kunjung tenang. Perasaan menggebunya bagaikan api yang terus membara. Sementara diluar sana, semua orang tengah menunggu kedatangannya.

Pintu tiba-tiba dibuka dengan pelan oleh seseorang. "Iris." Panggil seorang wanita paruh baya.

"Bunda..." Lirih Iris ketika mendapati ibunya masuk.

Melihat Iris yang tiba-tiba meneteskan air mata membuat ibunya dengan sigap menyekanya perlahan. "Iris bunda sudah dewasa yaa? Sudah memiliki kekasih dan akan menjadi istri seorang pria beberapa menit lagi."

"Bun, Iris takut. Iris pikir akan mudah melalui pernikahan ini. Tapi ternyata tidak semudah itu."

"Bagaimana jika Iris tidak bisa menjadi istri yang pantas untuk dia?"

Mendengar itu ibunya langsung memegang kedua pundak Iris. "Iris, dengarkan bunda." Ucapnya.

"Kamu mencintai laki-laki itu kan?" Tanya ibunya. Tentu dengan cepat Iris mengangguk. Tak perlu diragukan lagi sebesar apa rasa cintanya kepada laki-laki itu.

"Kamu tidak perlu mencemaskan apapun. Jika dia memilih kamu sebagai istrinya, maka dia tau kamu pantas. Kamu pantas untuk dijadikan wanita terakhir yang dicintainya. Bunda tau dia sangat mencintai kamu, Iris." Balas sang bunda untuk menenangkan hati Iris yang tak kunjung tenang.

Iris lantas tersenyum tipis dan memeluk ibunya dengan hangat. "Iris akan sangat merindukan bunda." Ujarnya diselingi tangis.

Tak berselang lama Yena datang untuk memberitahu bahwa pernikahan akan segera dimulai. Mendengar hal itu tentunya Iris segera menghapus air mata dan berjalan menuju altar. Sementara ibunya bergabung di tempat duduk penonton.

"Tenang, la." Ujar Ryuna yang mengerti bahwa sahabatnya itu cemas berlebihan. Namun wajar saja, pikirnya. Siapa yang tidak cemas jika beberapa menit lagi ia akan dipersunting oleh pria yang dicintainya.

Iris membalasnya dengan senyuman tipis dan mengangguk. Ia merasa sangat beruntung karena memiliki teman yang mengerti keadaannya.

Setelah melihat Iris lebih tenang, kedua sahabatnya berdiri di belakangnya karena mereka merupakan bridesmaid yang dipilih sendiri oleh Iris. "Pintu altar dibuka satu menit lagi." Ujar seseorang yang mengurus jalannya pernikahan.

Iris menarik nafasnya dalam-dalam sembari meremas tangkai bunga yang digenggamnya didepan perut. Tak berselang lama pintu altar mulai terbuka lebar yang membuat lampu terang menyorot ke arahnya, menjadikan dirinya satu-satunya sorotan umum. Saat itu juga terdengar suara tepuk tangan dari hadirin. Tak sedikit dari mereka yang menganga kagum atas kecantikan gadis itu.

Make up dan gaun yang dipakainya juga membuatnya terlihat semakin menawan.

Gaun berbahan dasar organza putih yang mengembang pada bagian bawah dengan sentuhan manik-manik memberikan kesan classic namun mewah. Tak lupa veil polos yang berasal dari kain brokat digunakan untuk menutupi wajahnya. Meski begitu, veil tersebut tak membuat kecantikannya berkurang sedikitpun.

Di sisi lain, laki-laki itu kini sedang berdiri di tengah altar sembari menatap takjub ke arah kekasihnya yang sebentar lagi akan menjadi pendamping hidupnya. Bahkan kedua teman sang mempelai pria yang berada dibelakangnya sebagai groomsmen sempat tertegun sesaat.

"Kamu selalu cantik, Stella."

Beriringan dengan langkah Iris, bunga mulai ditaburkan dan alunan musik mulai dimainkan. Semakin dekat jarak antara Iris dengan mempelai pria membuat jantungnya semakin berdebar tak beraturan.

Laki-laki itu menatap Iris dan tersenyum lembut ketika dia sudah berada tepat didepannya. Mata, hidung, bibir, semuanya terlihat begitu sempurna dimatanya. Seolah gadis itu tak memiliki kekurangan sedikit pun baginya.

Lalu Iris mengaitkan tangannya pada lengan laki-laki itu. "Kamu sangat cantik." Bisik laki-laki itu sebelum mereka memutuskan untuk melanjutkan jalannya hingga kedepan sang pendeta. Jantung Iris jangan ditanya lagi. Ia merasa sepertinya setelah pernikahan ini jantungnya akan copot sesaat.

Sementara itu groomsmen dan bridesmaid kembali ke tempat duduk karena tugas mereka sudah selesai.

Proses pernikahan pun akhirnya dimulai, dan tentunya mereka harus mengucap sumpah sakral yang disaksikan berbagai macam mata juga dihadapan Tuhan.

"Saya mengambil engkau menjadi istri saya, untuk saling memiliki dan menjaga, dari sekarang sampai selama-lamanya. Pada waktu susah maupun senang, pada waktu kelimpahan maupun kekurangan, pada waktu sehat maupun sakit, untuk saling mengasihi dan menghargai, sampai maut memisahkan kita, sesuai dengan hukum Allah yang kudus, dan inilah janji setiaku yang tulus."

Kurang lebih kalimat itu yang harus diucapkan sebelum akhirnya mereka memakaikan cincin ke jari manis satu sama lainnya. Lalu, dibukanya veil milik Iris oleh laki-laki itu secara perlahan. Netra Iris yang semula belum berani menatap kedua mata laki-laki itu pun akhirnya berubah. Secara perlahan Iris memberanikan diri untuk mendongak dan menatap mata laki-laki yang rupanya sudah daritadi mengangkat kedua sudut bibir dan membentuk lengkungan lebar.

"Mempelai pria dipersilahkan untuk mencium mempelai wanita."

Lantas laki-laki itu mengambil satu langkah kedepan yang membuat jarak antara ia dan wanita yang sudah menjadi istrinya sedikit terkikis.

Laki-laki itu diam beberapa saat dengan mata yang menatap lekat kedua mata Iris, sementara netra gadis itu mulai turun pada benda kenyal berwarna merah muda milik laki-laki dihadapannya. Tak berselang lama, laki-laki itu menarik tengkuk Iris perlahan dan menempelkan benda kenyal miliknya pada bibir Iris. Perlahan matanya mulai terpejam, tangannya bergerak menangkup pipi kanan Iris, sedangkan bibirnya masih melumat lembut.

Saat itu juga suara ricuh tepuk tangan mulai terdengar. Kelopak bunga mawar merah dan putih mulai ditaburkan ke arah mereka. Tak lupa alunan musik romantis juga kembali dimainkan.

Semua tamu bertepuk tangan dengan sangat meriah, tapi tidak dengan salah satu pria yang yang duduk pada kursi barisan depan. Ia bertepuk tangan pelan dan bibirnya tersenyum tipis. Dengan mati-matian, laki-laki itu menahan air mata yang sudah membendung sembari meremas celana hitam setelannya, dan menatap kedua insan yang sudah terikat janji pernikahan di altar. Namun sekuat apapun ia mencoba untuk menahannya, semuanya sia-sia karena akhirnya pertahanannya runtuh. Ia justru menangis diatas kebahagiaan sahabatnya itu.

"La, mata kamu berbinar lebih terang dari sebuah bintang."

—NAWASENA—

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 24, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Nawasena - HaechanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang