Part 1: Akar
Jakarta, 9 Maret 2017
-Dahayu Arawinda
Cuaca cukup cerah dengan udara kering yang berhembus, menimbulkan riak-riak air danau, menimbulkan gemerisik daun. Duduk dengan mata memandang lurus ke arah danau Situ Lembang, aku menghirup udara dan menghembuskannya secara kasar. Menerka-nerka apakah air danau cukup dingin untuk menyebabkan hipotermia ataukah kedalamannya cukup membuat seseorang tenggelam.
Fikiranku terusik kala aroma sea salt bercampur woody mengambang di udara, menoleh ke kanan, ku dapati seorang pria muda dengan kaos putih dipadukan outer hijau tua. Kami hanya duduk bersisian selama dua jam di bangku taman ini. Pengunjung lain lambat – laun pergi, hanya menyisakan aku dan pria muda ini.
"Kamu mau ikut mendengarkan?" Aku memberikan sebelah earphone ku padanya, yang hanya diterima tanpa ada kalimat balasan.
Lagu Don't Cry dari Guns N'Roses mengalun kemudian dari Walkman digenggamanku.
"Apa Kamu tau, bulan berputar mengelilingi bumi, bumi berputar mengelilingi matahari, dan juga matahari berputar di sekitar pusat bima sakti. Artinya penggambaran galaksi yang ada di televisi dan media sosial sepenuhnya salah ." Aku berbicara dengan kepala sepenuhnya tertoleh pada pria muda itu.
"Memang benar, tapi manusia tidak dapat mengirim probe1 cukup jauh untuk dapat memfoto keseluruhan galaksi, jadi hal yang Kamu jelaskan tadi masih diragukan juga kebenarannya." Suara ringan dan renyah terdengar setelahnya, berpadu dengan sayup-sayup lagu Don't Cry yang telah mencapai chorus.
Aku tersenyum menanggapi pria muda itu, "Oh iya, lalu harusnya seperti apa penampakan alam semesta Kita?" Aku bertanya dengan nada antusias.
"Alam semesta yang terbentuk layaknya jaring dengan serat-serat halus dan terdapat ruang kosong diantara serat tersebut, ya jika dibayangkan secara sederhana seperti kumpulan saraf di tubuh manusia."
Lagu telah berganti, menjadi Live and Let Die. Taman telah sepi, menyisakan aku dan pria muda.
"Ruang kosong ya. Menurutmu jika ada kekosongan di dunia ini, apa ada hal yang bisa dilakukan untuk mengatasi hal itu?" Pria muda itu tertoleh sepenuhnya, memperlihatkan manik sehitam jelaga yang berhasil mengunci mata ku.
"Tidak ada." Dia membalas lirih.
Hening, bahkan rasanya lagu yang mengalun tidak cukup berisik untuk menghentikan rasa hening yang timbul.
"Sudah pukul satu, Kamu tidak pulang?" Aku bertanya pada pria itu.
"Rumah Ku di daerah sini."
"Wah Kamu cukup kaya untuk bisa memiliki properti di pusat Jakarta seperti ini." Aku membalas dengan nada usil, kembali melanjutkan. "Aku tidak ingin pulang, ya anggap sedang melarikan diri."
"Aku juga tidak ingin pulang." Pria itu membalas ucapanku, membuat senyum terbit di wajah ku.
"Bagaimana jika Kita melarikan diri bersama?"
***
Kanigara Lingga –pria muda yang akhirnya ku ketahui namanya itu-, mengendarai motor matic nya dengan kecepatan sedang. Pukul dua dini hari,angin malam membelai wajahku yang tidak tertutupi visor2, menerbangkan anak rambut ke sembarang arah. Menyusuri sepanjang jalan Prof Moh. Yamin Sh lalu berbelok menuju jalan RP. Soeroso, dan berakhir memutari Monumen Nasional, yang terus berlanjut ke Masjid Istiqlal. Memperlihatkan gemerlap ibu kota yang tidak pernah mati, city light yang membunuh ribuan serangga malam.
"Sudah pukul dua dini hari, tapi kenapa jalanan tidak sepi?" Aku bertanya pada Lingga dengan suara yang cukup nyaring, khawatir terbawa angin.
"Tidakkah Kamu pernah mendengar istilah, Jakarta kota yang tidak pernah tidur? Banyak industri yang berjalan 24 jam nonstop." Lingga menjelaskan dengan suara renyahnya.
Aku hanya angguk – angguk kepala tanda mengerti, menikmati gedung – gedung pencakar langit. Kami terus mengendarai motor, melewati Universitas Negeri Jakarta, Arion Mall, dan berakhir di warung tenda nasi goring daerah Cipinang.
"Aku lapar, kita makan dulu." Lingga berucap saat aku menyerahkan helm.
"Bukankah ini lebih cocok disebut sebagai nasi tumis dibandingkan nasi goring? Menggoreng berarti menceburkan bahan makanan ke dalam lautan minyak." Aku berbisik pada Lingga, takut terdengar oleh abang penjual nasi goreng.
"Menumis juga termasuk ke dalam teknik menggoreng. Bedanya menumis dilakukan dengan minyak yang sedikit dan waktu yang relatif singkat. Jadi penggunaan nasi goreng tidak salah."
"Adakah hal yang tidak Kamu ketahui?" Aku memicingkan mata sebal, selalu saja bisa membalikkan jawaban yang aku lontarkan.
Selanjutnya hanya tawa renyah Lingga yang terdengar.
"Tidakkah Kamu takut jika Aku menculikmu dan menjual organ – organ mu? Harga ginjal cukup mahal di black market." Aku memandang wajah Lingga, lalu tersenyum dan menanggapi dengan raut jenaka.
"Aku sudah memfoto plat nomor kendaraan dan mengirimkannya pada teman Ku, selain itu Aku juga membagikan posisi terkini padanya. Jadi kalau Kamu macam – macam, akan ada polisi yang memburumu. Kan Kita mau melarikan diri bersama, jadi Kamu wajib menjaga keselamatan Aku dong. Daripada sendiri lebih baik berdua kan?" Aku menjelaskan dengan alis yang naik turun.
"Iya lebih baik berdua dibandingkan sendiri."
Kami –aku dan Lingga-, menghabiskan sisa malam dengan nasi goreng pedas dan segelas the tawar hangat.
[1] Probe: roket riset
[2] Visor: kaca helm
KAMU SEDANG MEMBACA
Shandaya
Teen Fictionsandhyā ; senja ; saat matahari terbenam Rumah seperti apa yang sedang kamu usahakan? Dahayu bertemu dengan Lingga pada malam Sabtu pukul sebelas di depan danau buatan. Senyap melingkupi ke duanya, sebelum Dahayu menawarkan earphone yang tersambun...