Chapter 1

39 0 0
                                    

Suara debuman buku yang diletakkkan dengan kasar ke atas meja seketika menghentikan keributan yang dibuat beberapa anak laki-laki di belakang kelas bersama gitar yang digenjreng asal – entah bagaimana gitar itu ada disana.

Lareina Nadeline, gadis cantik berambut panjang bergelombang dan wajah oriental dengan mata yang bisa dibilang tidak terlalu sipit, pun tidak terlalu lebar, itu menatap sedikit sebal ke arah anak laki-laki di kelasnya, lebih tepatnya pada satu laki-laki yang memegang gitar dan membuat keributan di belakang sana. Ia terpaksa harus mengerjakan tugas bocah itu yang notabenenya adalah ketua kelas.

Sebetulnya tidak masalah kalau Reina yang mengerjakannya. Lagipula ia sendiri merupakan wakil ketua kelas. Masalahnya, sejak awal mereka menginjakkan kaki di kelas dua belas, dan Reina menjabat sebagai wakil ketua kelas IPA 1, sang ketua kelas terlihat enggan melakukan tugasnya. Laki-laki itu bukannya membuat kelas tenang, ia justru mengajak teman-temannya yang lain membuat keributan.

Ghifari Faidhan namanya, si ketua kelas tidak becus yang sama sekali tidak membantu Reina, justru laki-laki itu membuat daftar panjang masalah hidupnya. Reina sejujurnya tak ingin menjadi wakil ketua. Namun, entah bagaimana, di proses pemilihan ketua dan wakil ketua kelas di awal semester lalu secara aklamasi itu, ia tiba-tiba saja ditunjuk. Alasannya, "Si ranking 1 pasangannya ya harus si ranking 2" dan beginilah akhirnya.

"Widiiih..... santai boss!" seru Ghifari. "Pagi-pagi udah ngamuk aja. PMS lu Rein?"

Reina menatap malas laki-laki itu, dan kembali duduk di kursinya yang berada tepat di depan meja guru.

"Sabar, Rein." Yara, teman sebangku Rein mencoba untuk menenangkan gadis itu yang memang selalu sensi jika sudah menyangkut laki-laki bernama Ghifari Faidhan itu.

Ya, mereka semua sudah sekelas tentu sejak berada di kelas 10, dan sejak saat itu seorang Lareina Nadeline mengikrarkan diri untuk membenci segala hal yang menyangkut seorang Ghifari Faidhan.

Sejujurnya, jika dijabarkan, alasannya sangat tidak masuk akal. Sebut saja, Reina iri dengan segala kejeniusan Ghifari.

Lelaki itu tipikal orang penganut prinsip "Life in the moment", seseorang yang terlihat menjalani hidup hanya dengan main-main, membuat ribut di belakang kelas dengan gitar butut berwarna coklat miliknya, tidak mendengarkan apa yang guru jelaskan di depan kelas dan memilih tidur, atau justru asik makan dari mangkok soto yang ia bawa dari kantin ke kelas. Namun, setiap akhir semester, namanya akan selalu bertengger di posisi satu.

Reina iri, tentu saja. Ia berusaha mati-matian untuk bisa berada di posisi satu, tapi ia terpaksa harus selalu puas dengan posisi dua meskipun sudah semalaman suntuk ia belajar.

Reina tidak suka sikap Ghifari yang bodo amat. Reina tak suka laki-laki itu yang tak melakukan apa-apa, tapi selalu mendapatkan apa yang gadis itu inginkan.

Katakan Reina kekanak-kanakan, ia tak peduli.

-------

"Rein, tolong bantu saya ambil perlengkapan laboratorium yang baru di ruang guru ya."

Reina yang masih mengatur material-material yang akan ia dan kelompok nya gunakan untuk praktik Biologi hari ini di laboratorium lantas menoleh ke deretan meja paling belakang, di mana sang ketua kelas dan kelompoknya berada. Dari tempatnya, Reina bisa melihat mereka yang tengah tertawa dengan apa yang mereka lakukan.

Memasak mie gelas dengan gelas beaker yang dipanaskan dengan lampu spirtus.

Mereka terlihat asik dengan kegiatan mereka, sampai Ghifari menyadari Reina yang menatap sinis ke arahnya. Laki-laki itu bukannya terlihat gentar, ia justru mengangkat alisnya seperti menggoda Reina.

GOOD ENOUGH - XDinary Heroes AUWhere stories live. Discover now