Gempa menyeka peluh yang mengalir di pelipis, menatap permukaan meja yang hanya dipenuhi tumpukan berkas OSIS, lembaran proposal setengah jadi, dan catatan-catatan seperti cakar ayam yang sangat ingin dia abaikan. Untuk pertama kali dalam hampir dua dekade hidupnya, suhu di tengah musim kemarau mencapai 42 derajat celcius. Atau begitulah kata presenter berita yang dia dengar sebelum berangkat sekolah pagi tadi.
Remaja itu merasa bersalah jika menghidupkan pendingin ruangan. Bisa saja hal itu menyebabkan peningkatan suhu di luar sana yang juga berpengaruh hingga esok hari. Terpaksa dia nikmati saja hembusan angin dari kipas gantung yang nyatanya malah memperparah kondisi ruangan tempatnya kini duduk santai, atau mungkin tidak.
Benda elektrik seperti baling-baling bambu terbalik itu memang mengantarkan angin ke penjuru ruangan, tetapi kolaborasinya dengan udara panas di penghujung bulan Juli membuat situasinya terasa seperti mendapat kiriman dari tanah jahanam. Beringsang tidak terkira.
"Ketua ...." Suara panggilan yang agak meragu terdengar bersama derit pintu. Ada sambungan saat Gempa melirik, "Ternyata memang masih di sini."
Gempa mendongak setelah dari tadi menempelkan mukanya pada permukaan meja. "Amar? Kamu juga belum pulang?"
Amar mengambil kertas memo yang menempel di pipi Gempa. Goresan tintanya agak luntur terkena keringat. "Aku sudah menduga Ketua tidak langsung pulang, jadi kubelikan es teh."
Mata cokelat Gempa berbinar haru. Demi apapun, ternyata masih ada manusia di sekolah ini yang berbaik hati mengantarkan pelepas dahaga kepadanya meski jam pulang telah lama usai. Gempa ingin sungkem rasanya. "Terima kasih, Amar," katanya setelah bungkus plastik itu berpindah tangan.
"Kupikir itu hanya hiasan." Amar menunjuk kipas gantung dengan dagunya. "Kudengar tidak pernah digunakan sejak sekolah ini dibangun. Soalnya, sudah ada pendingin ruangan, kan? Kenapa Ketua tidak gunakan itu saja?"
"Global warming bisa tambah parah," ujar Gempa.
Amar menjawab tidak kalah cepat, "Keparahannya tidak akan meningkat dalam sekali waktu."
"Terserah. Menurutku tidak ada bedanya."
Siswa mata empat itu mulai merapikan meja tanpa diminta. Berkas-berkas OSIS dia kumpulkan dalam map khusus dan dikelompokkan dalam rak di pojok kanan ruangan. Sementara kertas-kertas memo hasil rapat sebelumnya dimasukkan ke dalam laci meja Gempa. "Oh, ini bagaimana, Ketua?"
Amar Deep menyasarkan tiga lembar proposal tepat ke depan mata Gempa. Gempa menjauhkan sedotan dari mulutnya. "Aku belum minta tanda tangan Pak Kepsek. Hari ini beliau ada keperluan. Baru kembali lusa, katanya."
"Ya sudah. Biar aku yang urus. Setidaknya, bergantunglah pada kami, Ketua."
"Sudah cukup "Ketua" itu, Amar. Rapat sudah selesai sejak satu jam lalu."
"Akan kukurangi kalau Ketua bisa menghilangkan sifat khawatir yang berlebihan itu. Ketua bahkan mengambil bagian untuk tugas yang sudah diserahkan ke anggota lain."
"Soal itu ... ya, maaf."
.
.
Festival budaya adalah agenda tahunan menyerempet tradisi di Sekolah Menengah 1 Pulau Rintis yang telah dilaksanakan sejak generasi pertama sekolah itu. Acara yang menampilkan beragam kultur, baik nasional maupun internasional, dalam berbagai konsep dengan OSIS sebagai panitia pelaksana tentu saja tidak lepas dari niat terselubung pihak-pihak yang bersembunyi di balik nama institusi.
Kegiatan tersebut disetujui dan didukung penuh oleh sekolah. Karena selain menjadi ajang kompetisi yang memperkenalkan variasi budaya, hal ini juga menjadi salah satu kiat pihak akademik untuk mempromosikan poin menarik dari sekolah kepada calon-calon peserta didik baru tiap tahunnya. Oleh sebab itu, panitia selalu dituntut untuk mempersiapkan acara yang meriah.

KAMU SEDANG MEMBACA
Rising Hero
FanfictionRising Hero, sebuah game yang dapat mewujudkan pemainnya sebagai adiwira. Kemampuan super atau kekuatan yang setara monster hanya sebatas fantasi manusia yang tidak akan pernah terwujud dalam realitas. Itulah yang Gempa percaya. Namun, angan-angan m...