Recording 02: Hollowness

115 12 6
                                    

Angan Naut mengambang. Sudah mual otaknya dijejali foto-foto orang asing yang berserak di atas meja. Terbayang olehnya hari-hari indah sebelum mendekam di ruang sempit ini. Ketika dirinya berkumpul bersama anak-anak buahnya sambil pesta arak di bekas bangunan bak kapal pecah.

Suatu hari, salah satu begundal kelompoknya menawarkan pula agar Naut mencicip sedikit barang selundupan mereka. Rasa penasaran untuk mencoba menghasilkan sensasi euforia yang membuatnya hilang akal. Mengingatkannya kembali dengan kehidupan sebagai gelandangan. Carut-marut termuntah mencerca beberapa nama kalangan elite negeri sembari Naut menghajar beberapa kaki tangan yang tak bersalah. Dia sendiri tidak sadar kalau kejadian itu nyata terjadi. Masa bodoh. Setidaknya, Naut merasa senang.

Bagi sampah masyarakat sepertinya, memang perbuatan-perbuatan hina dan tercela yang demikian itu akan menaikkan derajatnya. Timbunan nista dan dosa menjadi penopang martabatnya agar senantiasa berada di puncak golongan.

Malangnya dia, kisah tersebut sudah usai. Naut hanya bisa pasrah bercokol di markas kepolisian. Ruang interogasi tidak seperti yang dia lihat di film-film barat, tapi cukup suram untuk menjadi tempat bicara. Namun, sepasrah-pasrahnya, Naut tetap tak hendak membuka mulut. Berulang kali dia ditanya tentang hubungannya dengan beberapa orang di dalam foto, Naut tetap bungkam. Jelas sekali dua petugas di hadapan sudah muak dengan serangkaian tingkah Naut yang tak kooperatif.

Pria itu bersandar malas pada kursi. Satu-satunya motif bagi Naut untuk bersuara adalah demi menyumpahi bocah-bocah warna-warni yang sudah mengacaukan kehidupannya. Andai dia berhasil melaksanakan perintah menghabisi si anak bermata emas, dia pasti punya cukup waktu untuk melarikan diri. Tapi, tidak dia lakukan. Tidak di hadapan dua petugas ini. Tidak sekalipun dia mencerca.

Seorang petugas berdesah kasar, dengan wajah berkerut meninggalkan ruangan. Sejak dia bergandeng dengan rekan-rekannya untuk memeriksa para bandit dari distrik mati, Naut adalah yang paling sulit ditanyai. Terutama tentang siapa yang membayangi perdagangan gelap mereka. Dia selalu tutup mulut atau sesekali berdalih mencemeeh petugas polisi yang katanya tidak kompeten.

Pria itu menepis perkataan busuk tersangka terhadap instansi mereka. Waktu akan jadi tidak bernilai jika dia terbawa emosi. Begitu melewati belokan koridor, matanya bertumbuk dengan seorang petugas lain. Orang itu cukup unik dengan model rambutnya yang mekar ke belakang seperti ekor ayam. Entah kerasukan apa pimpinan mereka sampai membiarkan petugas dengan model potongan seperti itu mondar-mandir sepanjang hari tanpa dikenai peringatan.

"Inspektur Kaizo." Sejumput kejengkelan yang numpang lewat sirna seketika menyebut nama itu.

Si pemilik nama langsung mengedarkan iris merahnya. Langkahnya terhenti menunggu lawan bicara tiba di hadapannya. "Bagaimana?" dia bertanya kemudian. Petugas bawahan Kaizo menggeleng pelan, menjelaskan bagaimana perangai si bandit raksasa yang tak berubah barang sedikit sejak pertama kali ditahan.

Decak halus melayap. Wajah Kaizo yang konfrigurasi standarnya sudah lempeng menjurus sinis berkerut kesal. Mungkin sama halnya petugas itu, Kaizo sudah terlalu jemu. Terlebih lagi, tersangka Naut tidak menunjukkan perubahan sikap sama sekali.

"Aku akan kembali setelah menemui seseorang di luar. Sementara itu, coba dapatkan informasi lain darinya."

.

.

.

"Loh, mana Ketua?"

Shielda mengangkut dokumen dari map folder di lemari. Ruang OSIS sudah diramaikan oleh anggota yang duduk rapi pada meja melingkar. Di depan ada sebuah kursi kosong membelakangi papan tulis. Shielda sendiri belum ada lima menit tiba di sana bersama abangnya dan langsung sibuk mencari laporan evaluasi kepanitiaan dari acara yang sudah lepas.

Rising HeroTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang