1 - PULANG
Sepasang mata hijau itu menatap lawannya dengan penuh amarah dan kebencian yang menggelegak hingga dasar palung jiwanya. Kilatan matanya akibat tertimpa sinar rembulan semakin menunjukkan kebengisannya. Sepasang sayap cokelat tua tersibak sempurna di belakang punggungnya, mencabik kemeja putih linen yang ia kenakan, menyisakan tubuh shirtless dengan otot kencang di bagian dada dan perutnya. Aliran arus listrik keluar dari dalam tubuhnya, keluar melewati pori-pori kulitnya, mengeluarkan spektrum listrik yang mengelilingi kedua tangannya. Spektrum aliran listrik tersebut bergumul menjadi satu hingga membuat pola memanjang di telapak tangannya yang kelamaan menjelma menjadi sebilah pedang panjang dengan gagang yang ditaburi bebatuan berharga berwarna biru. Spektrum listrik tersebut beralih mengelilingi pedang berukirkan dua garis spiral yang saling meliuk hingga ke ujung pedang berbentuk kepala singa.
Sementara lawannya hanya memandangnya dengan wajah datar seperti biasa. Sebelah sudut bibirnya tertarik miring ke atas membentuk senyum miring meremehkan. Mata biru samudranya menatap sang mata hijau dengan pandangan tajam, menusuk, dan sangat teramat mengintimidasi. Setitik belenggu di mata samudranya menyiratkan kekecewaan yang mendalam namun hal tersebut dengan mudah ditutupi olehnya.
Suasana semakin mencekam. Sinar rembulan menggantung di atas langit sehitam jelaga menertawakan dua mahluk bodoh yang saling melempar tatapan sengit. Semilir angin malam menerbangkan helaian rambut cepak mereka dan dedaunan yang menggelayut di atas ranting, menambah kesan dingin udara malam dan aura dingin yang menyebar di sekelilingnya.
Dia tahu, bahwa ia tak pernah bisa menang melawan lawannya—sang mata biru. Bahkan hanya berdiri di hadapannya pun mampu membuat seluruh kekuatannya seakan tersedot hingga hanya menyisakan seonggok tubuh penuh tekad. Tekad setebal baja demi mempertahankan dan memperjuangkan yang terkasih. Hatinya miris, bahkan sebelum pertarungan dimulai ia bisa melihat bagaimana hasil akhirnya yang bisa dipastikan tubuhnya akan terbujur kaku tak berdaya. Namun itu bukan persoalan, jika takdir bisa menjungkir-balikkan seisi dunia maka takdir pun bisa membuat kemenangan berpihak kepadanya.
"Menyerahlah," kata sang mata biru dingin, seolah ada ribuan bongkahan es tajam yang menghujam hatinya.
Ia meringis tertahan. "Tidak akan pernah," desisnya tajam.
Lawannya menyeringai keji. "Keputusan telah kau ambil." Sayap emasnya tersibak di belakang punggungnya diiringi dengan kerlipan serbuk emas yang meliuk-liuk di sepanjang sayapnya. Dua pedang legendaris berwarna emas keluar dari kedua pergelangan tangannya, ujung pedangnya mengkilap terkena cahaya rembulan. Udara dingin semakin terasa menusuk, hingga membuat beberapa pohon hingga ranting diselimuti oleh bongkahan es tipis.
Gemetar tubuhnya tak mampu ia tutupi lagi. Mundur dan minta ampunan adalah salah satu cara menyelamatkan dirinya saat ini. Namun, saat sekelebat bayangan wanita yang tersenyum cerah melintas di kepalanya, ia tahu bahwa tidak ada jalan untuk mundur. Tidak ada kesempatan untuk meragu. Ia melesat cepat menuju lawannya seraya merentangkan pedang yang dikelilingi oleh spektrum listrik, mata hijaunya berubah menjadi warna cokelat tua yang pinggirnya dikelilingi oleh warna jingga bagaikan bara api yang meluap-luap di-irisnya.
Dan ia tahu, bahwa ia tengah menjemput kematiannya saat ini.
---
Mata hijau cerah Alec Damian Wiltwizzy tersentak membuka tatkala seseorang berteriak lantang di dekat telinganya , membuyarkan segala mimpi buruknya yang merajam tidurnya belakangan ini. Kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri, dan mendapati dirinya tertidur di dalam tenda miliknya, di atas kursi kerjanya yang terbuat dari jalinan akar pohon besar yang saling melilit satu sama lain. Telinganya secara jelas mendengar suara sorak-sorai dari para prajurit lain yang akan menyambut kepulangan mereka dalam sebuah tugas di tengah hutan belantara di kawasan Falks bagian utara.
KAMU SEDANG MEMBACA
BLACK ROSE
Fantasy[IMMOSENCE SERIES #2] Ikatan yang membuat mereka terpisah dan ikatan pula yang membuat mereka menyatu. Ketika sebuah ikatan menjadi titik awal sebuah pemberontakan. Peringatan: Cerita tengah dalam perbaikan.