This book is a collaborative work between Sahlil Ge and Inas Pramoda.
Explicit content, reader please exercise discretion.
This chapter is written by Inas Pramoda
***
[IBAM]
"Arya pasti betah berlama-lama di sini." Seketika itu yang kupikirkan sehabis memarkir Rosi–motor Aerox keluaran 2016 yang kubeli seken dari kakakku–di pelataran parkir Pasar Gembrong Baru dan disambut dengan pintu masuk menuju Lorong Buku Batavia. Ada dua juru parkir di sana, seorang bertubuh tambun seperti SBY yang menjaga parkiran khusus toko ikan hias tepat di sebelah lorong, dan seorang lagi bapak-bapak tua dengan kemeja lusuh kebesaran yang barusan mengingatkan kunciku yang masih menggantung di kontak saat aku berjalan masuk.
Aku baru pertama kali ke sana setelah melihat unggahan seorang kenalanku lewat di beranda Facebook minggu lalu. Hidden gem, katanya. Sebetulnya aku agak alergi dengan kalimat itu sebab membayangkan dulu para penjajah mengusir penduduk asli dari rumahnya karena menganggap itu surga yang tersembunyi. Di benakku, semua penjajahan pasti berawal dari cerita seorang petualang yang menghadap raja mereka dan menceritakan sebuah tempat antah berantah yang indah dan dihuni orang-orang terbelakang. Cih.
Beberapa buku yang tampak tak penting digantung di teralis besi tepat di atas gerbang masuk lorong. Dan sebagaimana toko-toko buku lain yang pernah kusinggahi, Lorong Buku Batavia tampak seperti taman bermain di siang hari kerja: sepi dan seolah-olah waktu bergerak lambat. Aku pernah liputan di salah satu taman bermain tepat pada hari Senin, dan sewajarnya laki-laki dewasa yang berubah jadi anak kecil ketika dibiarkan keliaran sendiri di tengah banyak mainan, aku antusias untuk naik boom-boom car tanpa mengantri. Namun, sang penjaga wahana terlihat seperti orang mau bunuh diri dan ingin cepat-cepat pulang. Wajah itu pula yang kulihat terpasang pada para penjaga toko buku di sini.
Meski begitu, pikiranku masih sama, Arya tetap akan betah berlama-lama di sini selama ada buku. Dan sepanjang lorong ini, buku terhampar seperti nisan kuburan di Pemakaman Karet Bivak, tak habis-habis. Aku jadi ingat, terakhir kali bertemu Arya, ia menitip buku dongeng anak apa saja yang belum pernah ia baca. Barangkali di pasar ini permintaannya segera terpenuhi, semoga saja.
Arya ini bagiku seperti pepatah Jawa: Dudu dulur dudu kadang, yen mati melu kelangan. Saudara bukan, kerabat juga bukan, tapi jika ia mati aku akan merasa kehilangan. Tahun pertama kuliah, aku diceritakan dosen soal kisah perjumpaan Aleksander Agung dengan Diogenes. Saking kagumnya sang raja muda dengan filsuf jelata itu, sampai-sampai ia bilang, "Seandainya aku bukan Aleksander, aku ingin jadi Diogenes." Ketika pertama kali mendengar kisah itu, aku selalu kepikiran dengan Arya. Aku ingin menjadi dirinya kalau ada kesempatan hidup lagi. Mungkin ini terdengar berlebihan, tapi kelak aku akan mengisahkan siapa Arya dan kalian akan menemukan alasan dari ucapanku tadi.
Aku menjelajahi satu per satu toko buku yang berjejeran di lorong, tak kubiarkan ada yang kelewatan. Toko pertama di sisi kiri memajang poster-poster iklan lama seperti Coca-Cola. Di dalamnya buku-buku ditata tak beraturan. Sebagian berdiri mengisi lemari buku tiga tingkat, sebagian tidur menumpuk di meja-meja dan rak gantung. Tak ada petunjuk di mana letak buku sastra, atau ekonomi, atau politik, atau agama, atau apa pun. Yang ada hanya firasat kita sendiri. Tanganku sempat menjumput beberapa judul yang tampak menarik: karya-karya Rendra; otobiografi Rosihan Anwar; Mahabarata terjemahan Harijadi; hingga potongan novel Aulad Haratina-nya Najib Mahfouz. Namun, aku masih belum terlalu bernafsu membawa mereka pulang.
Tepat ketika akan angkat kaki dari toko buku itu, pandanganku teralihkan oleh buku kecil yang terbungkus plastik bening di atas karangan Gol A Gong. Hikajat dan Dongeng Djawa Purba, begitu judulnya. Sampulnya cokelat kusam dengan motif bunga dan terpampang logo Penerbit Balai Pustaka di pojokan. "Kujamin Arya belum pernah membaca ini," batinku. Senyumku merekah dan seketika memudar setelah membalik buku itu. Harganya tercatat 350 ribu. Asu tenan. Buku setipis kesabaranku itu segera kucampakkan ke tempat semula dan aku segera minggat dari sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
LOST AND GONE
Aktuelle LiteraturKarena tak semua yang hilang harus kembali ditemukan.