"Maaf, Kamala. Aku tidak bisa melihat kamu dalam kehidupanku."
Sakit hati mendengar kata-kata keluar dari mulut Wiliam. Wanita yang berhasil membuatkannya merasa wanita paling bodoh di dunia ini. Untuk apa dia bertahan selama lima tahun— Wiliam tak pernah memandangnya sebagai Kamala.
"Apa kekurangan aku?" Nadanya terdengar kecewa dan sedih, nyaris-nyaris terisak di tengah obrolan mereka yang terlanjur serius. Matanya sudah berair, sedikit demi sedikit air matanya mulai mengalir menuruni pipinya.
Jedanya terlalu lama, hanya terdengar suara kipas berpusing-pusing. Tiada kalimat muncul setelah Kamala menumpahkan air matanya di hadapan Wiliam.
"Kamu tidak bisa menggantikan posisi dia. Cukup jelas kamu dan dia berbeda, Kamala. Bahkan kamu minta beberapa tahun pun, aku cuma bisa melihatnya dalam kehidupanku bukan kamu."
"I know! I fucking knew that!"
Wiliam terperanjat, pertama kali melihat Kamala sekacau ini karena dirinya. Melihat Kamala berteriak di depannya seiringan terisak. Kamala mendekat, menggenggam ujung kemeja kerja Wiliam.
"Aku tidak mau berpisah denganmu," gumamnya mampu didengari Wiliam.
Wiliam terdiam sejenak, memikirkan Kamala begitu sayang betul dengannya. Wiliam teringat bagaimana Kamala terus menerus menunggu kepulangan dirinya setelah bekerja. Sungguhpun begitu, hatinya sama sekali tidak berdebar kencang.
Wiliam merasa kosong— kosong, hampa saat bersama Kamala. Entah kenapa Wiliam merasakan hal itu ingin memberitahu kepada temannya tidak akan bantunya.
"Aku tidak mau kamu merasa sakit sekian kalinya, kita sudahi saja—" Kamala memeluknya, cukup erat ditambah tangisan Kamala membuatkan hatinya terhenyak.
"Kumohon jangan tinggalkan aku!" Kamala menenggelamkan wajahnya di ceruk leher Wiliam yang terpaku. Dia melihat bahunya bergetar hebat.
Sungguh Wiliam merasa dirinya adalah seorang yang jahat membuat Kamala menangis seperti ini. Wiliam tidak mau melihatnya menangis seperti ini lagi.
"Kamala ... our story end here."
Kamala menggeleng keras, pelukannya semakin erat, membuatkan Wiliam terpaksa memegang bahunya untuk melepaskan dirinya tetapi— gagal.
"K-kasih aku waktu kumohon."
"Aku sudah bagi waktu cukup lama, dan aku juga sudah menyakitimu. Aku tidak mau menjadi orang berengsek hanya karena aku masih terjebak di masa lalu."
"Wili—"
"Kamala? Kamala? Mala!"
Kamala tersentak langsung bangun, dia mendongak memandangi seluruh ruangan itu— ah, rupanya dia tertidur di kelas. Kamala memijat pelipisnya, rasa pusing langsung menyerangnya.
Kamala merasa hatinya memompa tak karuan, diliputi rasa cemas dan takut setelah mengingatkan mimpi yang hampir membuatnya kehilangan Wiliam— kekasihnya.
"Kamu kenapa? Lelah?"
Julia, sahabat dekatnya yang mengetahui hubungannya dan Wiliam. Julia melihat gerak-geriknya langsung menautkan alisnya bersatu terheran."Aku mimpi buruk, Jul."
Julia manggut-manggut paham, tanpa mencela, dia menunggu dengan sabar melihat Kamala agak ragu untuk memberitahunya.
"Aku mimpi dia tidak bisa lupakan mantannya. I'm scared. Aku takut dia kembali semula ke mantannya dan meninggalkan aku."
Julia menatap netra kecoklatan Kamala; terpancar rasa khawatir dan gelisah di dalamnya. Julia paham, apalagi hubungan Kamala dan kekasihnya itu seperti roller coaster.