aku terbangun pagi ini karena kebelet kencing, suatu hal yang jarang terjadi karena biasanya ibuku harus menggunakan segala macam cara untuk membangunkanku. setiap pagi aku harus bangun lebih awal untuk bersekolah, dan melakukan hal-hal yang sama seperti manusia normal lakukan. hanya ada sekitar seratus lima murid di sekolahku, itu pun sudah termasuk kelas tambahan untuk anak-anak yang harus ditangani secara khusus.
aku berjalan keluar kamar sembari menggaruk-garuk rambutku yang panjang, kasar seperti sapu ijuk yang sudah berpuluh-puluh tahun dipakai menyapu lapangan bola. tidak heran, aku hanya keramas satu bulan sekali. semuanya serba terbatas, dan aku harus hemat. mandi pun kadang hanya sehari sekali, dan itu pun tidak terlalu bersih karena lagi-lagi aku harus hemat.
hampir semua aspek penyokong kehidupan yang dulu orang bisa hamburkan seenaknya kini menjadi barang yang langka, dan aku tidak boleh berlebihan memakainya.
ketika aku masuk ke dalam kamar mandi dan melihat ember hitam tempat menampung air yang akan aku pakai, hatiku menjadi sedih. untuk memandikan seekor anak kambing saja mungkin tidak akan cukup, kadang jika sedang termenung aku selalu membayangkan diriku berbaring di bath tubs besar penuh air yang berbuih sabung yang wangi. di mana aku bisa menggosok tubuhku dengan teliti hingga tidak ada satu tempat pun yang terlewat, di sela-sela itu juga aku dapat mencium harum sabun. aku berada di surga.
"Pili, cepat mandi dan siap-siap ke sekolah. sarapanmu sudah siap." ibuku berteriak dari dapur.
aku mendengus dan melepas pakaianku, air seember itu menjadi satu-satunya harapan untuk menghilangkah bau iler yang sudah kadung melapisiku. setelah mandi dan memakai seragam aku menghampiri ibuku di dapur, ia dan ayahku sudah duduk di meja makan. aku duduk di satu kursi yang tersisa dan sengaja membanting tasku di atas meja, mereka berdua memperhatikanku.
"kamu tuh, ya. gak pernah sekali gitu berangkat sekolah dengan riang gembira." ibuku bergumam.
"dari zaman dulu juga mana ada yang suka sama sekolah." tangkisku.
ibu hanya bisa menggeram, sedangkan ayahku malah tersenyum bangga.
"Itu baru anak gadis ayah, semangatnya tinggi." selera humor ayahku memang buruk, maafkanlah.
namun dia adalah orang yang baik dan bertanggung jawab, dengan jerih payahnya ia dapat menempati posisi yang bagus di pemerintahan hingga kau dan ibuku dapat menempati rumah yang layak dan aku bisa bersekolah. aku tidak pernah tidak hormat pada ayahku, jika ayahku tidak berkerja keras mungkin saja keluargaku menjadi orang miskin yang hidup dari menjual pembalut ke kaum vampir.
walaupun pemerintah memberikan pasokan khusus untuk para vampir setiap bulan, tetapi ada saja kroco-kroco yang menjual pembalut bekas di pasar gelap. bagi kami manusia, orang-orang yang menjual pembalut mereka di pasar gelap dianggap tidak bermartabat. sama seperti lonte. aku pun tak setuju, kadang aku pun sedih melihat mereka. tinggal di gedung-gedung kosong dan makan apa adanya. mereka melakukan itu hanya untuk menyambung hidup, selesai sampai di situ.
setelah makan selembar roti, aku pamit kepada ayah dan ibu. aku meninggalkan mereka yang mulai sengit mendebatkan langkah-langkah pemerintah untuk mengatasi masalah krisis pangan yang berada di depan mata, aku pun tidak terlalu mengerti, yang jelas kini tidak ada nasi untuk kami makan. yang ada hanya roti, kentang, jagung, dan singkong. para orang kaya masih bisa makan roti dan kentang, tetapi orang miskin hanya berakhir di singkong. dapat jagung pun sudah sangat beruntung.
KAMU SEDANG MEMBACA
When The Sun Goes Down
Teen FictionDi tengah dunia yang semakin kacau, pertumpahan darah di mana-mana dan dongeng menjadi nyata, pili mencoba untuk bertahan hidup sebagai gadis normal. Tahun 2100 bukan waktu yang tepat untuk gadis seperti pili hidup. Ras manusia berada di ujung nadir...