19

4K 305 8
                                    

“Yang Mulia, saya telah berhasil mengacaukan perjalanan Duke Wilton dan membuat skenario sesuai dengan apa yang Anda minta. Hanya saja, Lady Arletta pada saat kejadian menghilang dari kediaman. Tidak tahu ke mana perginya. Namun, saya sudah memastikan bahwa dia tidak akan mencurigai identitas saya.”

Seorang pria dengan jubah hitam berlutut di hadapan seorang wanita yang duduk menyilangkan kaki di kursi mewah khas milik bangsawan. Jemari lentiknya memegangi cawan emas berisi anggur nikmat.

Sembari mendengarkan laporan dari bawahannya, ia menyesap, menikmati tiap tetes manisnya anggur yang membasahi kerongkongannya.

Tatapannya jatuh pada pria yang ia utus untuk mengemban tugas ini. Whitney meletakkan cawan emasnya ke meja di sisinya. Wanita itu bangkit, sepatunya terdengar syahdu mengetuk lantai. Ketika sampai di hadapan pria yang tengah berlutut itu, jemari lentik Whitney menngangkat dagu sang pria, membuatnya mau tak mau harus beradu tatap dengan Whitney.

“Siapa namamu?” tanya Whitney dengan suara rendah.

Sorot mata yang tajam itu membuat pria itu gentar. Ia bahkan harus menegak ludah dengan susah payah sebelum berhasil menjawab pertanyaan yang dilontarkan sang putri.

“Menjawab Tuan Putri, nama saya Gerald.”

“Gerald, ya?” ulang Whitney seraya menggut-manggut.

Alih-alih merasa tenang setelah memberi tahu namanya pada sang putri, napas Gerald malah dibuat tercekat saat ia merasakan kedua tangan Whitney kini mencengkeram lehernya. Kedua mata Gerald dibuat membelalak saat menyadari lehernya tengah dicekik.

Sebenarnya, bukan hal yang sulit untuk mengelak dari cekikan Whitney. Meskipun cukup keras, tetapi tenaga seorang wanita jelas tak seberapa jika dibandingkan dengan seorang pria. Apalagi dengan catatan sebagai prajurit sepertinya. Namun, adalah tidak sopan jika mengelak. Bahkan, bukan tidak mungkin Gerald bisa dianggap pengkhianat karena tindakannya mengelak dari keluarga kerajaan, meskipun posisinya dia sebagai yang tertindas.

“Pu-putri, ampuni saya,” pinta Gerad terbata-bata. Tangannya mengambang di udara, ragu untuk menyentuh sang putri sekadar untuk berusaha agar kiranya wanita itu mau melonggarkan cengkeramannya.

“Kau bilang apa tadi? Arletta berhasil kabur? Kau juga tidak menemukannya. Lantas dengan dasar apa kau mengatakan bahwa Arletta tidak mengetahui identitasmu?”

Tatapan Whitney begitu tajam menusuk. Murka bukan main ketika rencana yang telah disusun matang-matang masih juga gagal. Apalagi hanya kurang satu langkah saja ia akan berhasil membunuh Arletta. Namun, karena ulah cecunguk yang tidak berguna ini, Whitney jadi kehilangan kesempatan emasnya.

“Saya sudah membuang salah satu jasad pelayan milik Lady Arletta. Mereka semua pasti langsung mencurigai pelayan itu sebagai dalang dari pembunuhan ini.”

Salah satu sudut bibir Whitney terangkat sinis. Ia semakin mengeratkan cengkeramannya di leher prajurit itu hingga membuatnya semakin kesulitan bernapas.

“Ckck ... sayang sekali, alasan yang kurang meyakinkan.”

Krek!

Kedua mata Gerald membelalak saat merasakan lehernya diputar dengan sengaja. Tidak, sudah tidak ada ampun. Tubuh Gerald langsung jatuh tak bernyawa di atas lantai. Menyisakan Whitney seorang diri dalam ruangan itu.

Wajah sang putri menggelap. Tatapan dingin tak berperasaan itu tampak sangat bengis. Ia merasa marah karena rencana pmbunuhan terhadap Arletta lagi-lagi gagal.

“Arg! Aku harus membunuhmu, Arletta! Dasar hama pengganggu! Aku sangat membencimu!”

Satu per satu benda di atas meja nakas berjatuhan, beberapa di antaranya yang terbuat dari kaca langsung pecah, berserakan menjadi serpihan tajam setelah sang empunya membanting apa pun yang ada di sekeliling untuk meluapkan emosi.

I Choose The Villain DukeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang